Anggota MPR RI FPAN: Dialektika Nilai Sejarah tak Boleh Berhenti

Anggota MPR RI Haerudin, S. Ag MH yang telah berubah nama menjadi Muhammad Hoerudin Amin hasil putusan Pengadilan Bale Bandung saat memaparkan dan mensosialisasikan empat pilar MPR RI di hadapan warga Desa Bojong

[lintasjabar tkp=”GARUT”] Seluruh unsur di negeri ini harus satu pandangan terhadap empat pilar kebangsaan. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan Undang-undang Dasar 1945. Jika dianalogikan NKRI sebuah rumah, Pancasila menjadi pondasi, Bhineka Tunggal Ika sebagai keanekaragaman ornamen dan UUD 1945 merupakan adab bagi penghuninya.

Bahkan lima dasar nilai Pancasila adalah rajutan sejarah nusantara, dan negara yang memiliki nilai yang sama untuk menjadikan semua memiliki semangat dan spirit nilai.


Demikian disampaikan Anggota MPR RI Haerudin, S. Ag MH yang telah berubah nama menjadi Muhammad Hoerudin Amin hasil putusan Pengadilan Bale Bandung dengan surat penetapan nomor: 292/Pdt.P/2020/PN Blb saat memaparkan dan mensosialisasikan empat pilar MPR RI di hadapan warga Desa Bojong Kecamatan Pameungpeuk Garut, Kamis (04/2/2021).

Ditambahkannya, jika eksistensi Indonesia dibawa ke ranah sejarah Nusantara, maka jauh berabad-abad lalu telah ada Mahapatih Gadjah Mada misalnya, telah mengenalkan Nusantara pada tahun 1336. Sebelumnya, Kertanegara Raja Singasari pada tahun 1276 dengan konsep Dwipantara. Dwipa sinonim “nusa” yang bermakna pulau. Sehingga Dwipantara merupakan “kepulauan antara”, yang maknanya sama persis dengan Nusantara.

[xyz-ips snippet=”bacajuga”]

“Tidak boleh berhenti dialektika nilai ini agar bangsa Indonesia selalu menemukan formula tepat untuk selalu melakukan kontekstualisasi di setiap zaman,” terang Ketua DPP PAN ini.

Salah satu anggota Komisi IV ini juga menandaskan bahwa dialektika historis kebangsaan terbentuk dari nilai yang sama-sama menganutnya. Karena itu, negara ini dibangun atas optimisme dan visi yang kuat. Para pendahulu telah menginfakkan seluruh jiwa raga demi terbebasnya Ibu Pertiwi dari penjajahan dan berkibarnya merah putih ribuan nyawa telah berpulang.

“Para pahlawan telah berkorban dan nirpamrih. Puncaknya, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 menjadi awal kehidupan berbangsa yang merdeka. Nilai-nilai sejarah terbentuknya negara ini sebagai penopang sendi kebangsaan. Kebhinekaan menjadi keniscayaan. Bangsa ini merupakan bangsa besar, meski dengan segudang problematika. Anak bangsa, dimanapun berada dan apapun posisinya, idealnya menjadi bagian dari solusi. Negara butuh uluran jiwa raga untuk menyemai nasionalisme dan memperkokoh patriotisme,” tutur legislator asal dapil Jabar XI meliputi Kabupaten Garut, Kabupaten dan Kota Tasikmalaya.

Suasana sosialisasi empat pilar kebangsaan MPR RI

Dituturkannya, dalam pidato Ir. Soekarno pra pembacaan teks proklamasi secara lugas menguraikan konvergensi suasana kebatinan seluruh rakyat Indonesia yakni “Merdeka”. Kutipan pidato tersebut “Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil sikap nasib bangsa dan nasib tanah air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri akan dapat berdiri dengan kuatnya. Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarat dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia. Permusyawaratan itu seia sekata berpendapat bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita”.

Pada kesempatan itu, tampak jadir Kepala Desa Bojong, Komarudin, tokoh pemuda desa Alam Pasha sekaligus penggiat Pesantren Nur Hikmah. (Den)

Tinggalkan Balasan