Oleh: Dadan Wildan Anas*
Hari ini 12 September 2023, tepat 100 tahun usia organisasi Persatuan Islam (Persis). Persis didirikan di Bandung, pada 1 Shafar 1342 H/12 September 1923 M. Didirikan oleh Haji Zamzam dan Haji Mohammad Yunus, dua orang saudagar asal Palembang.
Dalam seabad berkiprah di negeri ini, Persis telah mewariskan literasi Islam, melahirkan para mujahid dakwah, memberikan keteladanan kepada umat, hingga ikut serta dalam memberi arah dan dasar-dasar berdirinya NKRI.
Warisan intelektual Persis telah menginspirasi dan menumbuh suburkan tamansari intelektual pemikiran keislaman di Indonesia.
Seabad kehadiran Persis, telah dikawal oleh para mujahid dan mujaddid yang tangguh. Dari Tuan Ahmad Hassan hingga Mr. Mohammad Natsir; dari KH. Isa Anshary hingga Ustad Endang Abdurrahman; dari Ustad Latief Mukhtar hingga Ustad Shiddiq Amien; dan dari Prof. Maman Abdurrahman hingga KH. Aceng Zakaria.
Mereka telah menanam biji pemikiran yang membuahkan keteladanan. Gerak perjuangan Persis tidak terbatas pada persoalan-persoalan ibadah dalam arti sempit, tetapi meluas kepada persoalan-persoalan strategis keumatan, terutama pada urusan muamalah dan peningkatan pengkajian pemikiran keislaman.
Di era kesejagatan saat ini, masihkah Persis akan tetap berpegang pada jargon mengembalikan umat kepada Al-Qur’an dan Sunnah dengan memberantas takhayul, bid’ah, dan khurafat, sebagaimana di awal berdirinya seratus tahun lalu?
Studi yang dilakukan Howard M. Federspiel—profesor Ilmu Politik di Ohio State University yang menaruh perhatian pada organisasi Persis sejak tahun 1970-an–dalam buku Labirin Ideologi Muslim, memberikan kategorisasi Persis sebagai organisasi dari kelompok muslim modernis yang mencurahkan perhatiannya pada promosi Islam puritan.
Persis di era kegemilangannya, merupakan perhimpunan ideologis dan sangat kontroversial. Sumbangan penting Persis dalam pentas sejarah Islam Indonesia, terletak pada upayanya dalam mendefinisikan penegakkan Islam, menentang praktik keagamaan pribumi dan tradisi, serta memisahkan dengan tegas antara sunnah dan bid’ah; antara halal dan haram.
Kontribusi pemikiran Persis dalam seratus tahun terakhir ini, lebih banyak dilahirkan dari hasil pemikiran Ahmad Hassan, sebagai guru utama Persis. Pemikiran Tuan Hassan sejak tahun 1920-an hingga 1950-an, dalam perkembangannya tidak banyak berubah dan identik dengan pemikiran Persis.
Kalaupun ada fatwa-fatwa baru, merupakan hasil kajian dari Dewan Hisbah PP. Persis. Di perempat abad ke 21 ini, tentu umat merindukan kembali hadirnya Persis sebagai pencerah sebagaimana kelahirannya di awal abad ke-20.
Di era global saat ini, tentu saja aktivitas dan gerakan dakwah Persis tidak hanya bergelut pada pemurnian ibadah dan aqidah umat semata, tetapi harus melompat jauh untuk berkontribusi pada persoalan keumatan dan kebangsaan yang lebih luas dan makin kompleks.
Reinventing Persis
Duet kepemimpinan Persis hasil Muktamar ke-16 tahun 2022 lalu, dibawah Ketua Umum Dr. KH. Jeje Zaenudin, M. Ag., dan Wakilnya Prof. Dr. KH. Atip Latifulhayat, SH., LLM, Ph. D, kita berharap, Persis dapat merespon berbagai persoalan keumatan dan kebangsaan, baik dari perspektif Islam maupun sosial kemasyarakatan.
Persis juga diharapkan dapat menjembatani peradaban Islam, timur, dan barat. Dalam menjalankan risalah dakwah, para pimpinan Persis harus berkaca kepada para tokoh Persis di awal abad 20 yang mampu menjadikan organisasi ini menjadi besar dan mempunyai daya tarik tersendiri.
Di era sekarang, jamaah Persis di seluruh tanah air juga harus berani mengubah pola, strategi, media, dan metode dakwah yang tidak kaku, namun lebih terbuka. Para ulama Persis tidak boleh lagi bersikap eksklusif apalagi berdiri di atas menara gading. Tetapi harus terus meningkatkan kualitas dakwah dengan memberikan perhatian besar pada visi ke-Islam-an, kebangsaan, dan kesejahteraan.
Persis harus mengambil bagian dalam menjembatani dan membangun kebersamaan sekaligus menebarkan keteduhan, kedamaian, dan keteladanan. Persis dapat lebih menegaskan lagi posisi dan eksistensinya sebagai salah satu ikon penting pergerakan Islam di Indonesia. Persis dapat menempati garda depan dalam merealisasikan Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Satu abad jamiyyah Persis tegak berdiri di negeri ini, menjadi momentum menemukan kembali jati diri Persis. Seratus tahun sudah, Persis berhasil mewacanakan Islam. Persis tercatat dalam sejarah sebagai salah satu ormas Islam yang teguh dalam pendirian menegakkan Al-Qur’an dan Sunnah.
Seratus tahun kemudian, Persis saatnya membumikan Islam. Jika tidak ada lompatan besar dalam seratus tahun usianya, kebesaran Persis saat ini, hanya ada dalam artefak sejarah.
Realita saat ini, suara Persis hanya terdengar sayup sayup dalam dialektika dinamika pemikiran nasional apalagi internasional. Nampaknya Persis terlalu sibuk dengan urusan internal, tetapi melupakan hal-hal besar untuk memberi sumbangan pemikiran di dunia Islam sebagaimana awal kelahirannya.
Dalam momentum seratus tahun Persis, sudah saatnya seluruh insan Persis dapat mengembalikan kekhasannya sebagai penghulu rujukan pemikiran Islam. Lakukan reinventing and transforming jati diri Persis, tentu dengan kepemimpinan jamiyyah yang berfikiran maju, menasional, bahkan mendunia. Jika tidak, Persis hanya tinggal catatan di buku sejarah.
*Penulis: Sekretaris Majelis Penasehat Pimpinan Pusat (PP) Persis