Sejak Kapan Ada Etika dan Moral Saat Perebutan Kekuasaan?

Oleh: Dr. WAWAN GUNAWAN*

Banyak sisi melihat perebutan kekuasaan. Saya melihatnya dari satu sisi, sisi lain yang mungkin tidak populis.

Kekuasaan erat kaitannya dengan politik dan partai politik. Kekuasaan itu adiktif.

Parpol sebagai mesin politik tentu akan berjibaku agar capresnya menang. Wajar dan harus.

Politik adalah dunia kemungkinan, termasuk kemungkinan menggunakan aneka cara seperti menjadi penghianat atau penjilat. Bahkan cara-cara meninggalkan kaidah moral dan etika.

Namanya juga dunia kemungkinan. Segalanya serba mungkin.

Lalu sejak kapan dalam perebutan kekuasaan unsur moral dan etika diperlukan?

Sejarah mencatat unsur moral dan etika menjadi tidak penting dalam perebutan kekuasaan.

Etika dan moral hanya pelamis bibir yang atributif bersifat kemasan dan basa-basi. Dibutuhkan secara imajinatif tapi tak penting dalam realitas perebutan kekuasaan.

Loncat partai, korupsi berjamaah, saling sandra secara sistemik, adalah sekelumit drama di dunia politik yang lajim serta sudah menjadi rahasia umum.

Jadi mengapa harus baper, marah-marah, atau saling tuding?

Patut diingat bahwa kekuasaan adalah Leviathan sosok raksasa rakus yang tak pernah kenyang.

Ya itulah watak kekuasaan, dimanapun dan siapapun subyek yang berkuasanya. Selalu sama saja, selalu demokratis di awal dan berakhir dengan upaya melanggengkan kekuasaan.

Oligarki dan otoritarian selalu berjabat tangan untuk kebutan dan kepentingannya masing-masing.

Jadi perspektif moral dan etika hanya indah dalam diskursus tapi nihil dalam realitas perebutan kekuasaan.

Ruang publik yang masih mungkin dibangun adalah referensi kita harus cukup untuk menentukan pilihan dan menjaga kedamaian Indonesia.

Penulis: Dosen FISIP Unjani, founder EDAS