BANDUNG (LJ) – Sengketa lahan yang kini menjadi kantor Dinas Peternakan Jawa Barat memasuki babak baru. Setelah putusan Peninjauan Kembali yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung pada 1993 menyatakan ahli waris sebagai pemenang atas sengketa lahan di Jalan Ir. H. Juanda nomor 358-360, Kota Bandung itu. Sehingga mereka (Ahli Waris-red) menuntut ganti rugi/ konpensasi kepada Pemprov Jabar yang disampaikan kepada DPRD Jabar.
Tuntutan keluarga Ahli waris didampingi pengecaranya tersebut mereka sampaikan dalam audensi dengan DPRD Jabar yang diterima oleh Komisi A dan Biro Hukum Pemprov Jabar, kemarin (24/3/2014).
Dalam pertemuan yang dipimpin oleh Ketua Komisi A Yusuf Puadz didampingi Sekretaris Sugianto Nagolah, Anggota Deden Dharmasnyah, Ahmad Reza Alhabsyih, Aesp Sulaeman, Kabiro Humum Setda Jabar Yessy Esmeralda, berjalan cukup alot, karena antara ahli waris dan pemprov Jabar sama ngotot mempertahankan pendapat masing-masing.
Kuasa hukum ahli waris, Irwan Nasution bahwa dalam isi PK yang dikeluarkan MA itu, adanya upaya banding yang diajukan, tidak bisa menghalangi eksekusi. Sehingga, tambah dia, meski upaya banding yang diajukan pemprov belum diketahui hasilnya, eksekusi atas lahan tersebut sudah bisa dilakukan.
“Jadi harusnya pemprov membayar kompensasi seperti yang diminta ahli waris. Kalau pemprov tidak mematuhi isi PK, ini citra buruk bagi pemprov,” kata Irwan
Dirinya pun menyayangkan upaya hukum yang terus dilakukan pemprov. “Ini hanya untuk memperlama saja,” ketusnya.
Terkait tuntutan keluarga ahli waris tersebut, Anggota Komisi A DPRD Jabar Deden Darmansyah menilai, persoalan tersebut harus segera dicari jalan keluarnya.
Sebab, tambah dia, persoalan yang sudah berlarut-larut ini cukup menyita waktu dan tenaga semua pihak. Deden menilai, pembayaran kompensasi yang diminta ahli waris bisa dilakukan dengan syarat adanya persetujuan dari BPK.
Komisi A DPRD Jabar mengusulkan Pemprov Jabar melakukan konsultasi ke Badan Pemeriksa Keuangan terkait permintaan ahli waris yang menginginkan ganti rugi atas lahan tersebut
“Apakah putusan PK ini cukup atau tidak untuk dijadikan dasar pembayaran kompensasi? Biro Hukum (Pemprov Jabar) bisa konsultasi ke BPK,” kata Deden dalam kesempatan tersebut.
Dengan begitu, lanjut Deden, pembayaran kompensasi yang dilakukan pemprov memiliki landasan hukum yang kuat, sehingga jelas pertanggungjawabannya. Selain itu, Deden pun meminta kedua belah pihak menyepakati mekanisme ketika banding yang diajukan pemprov dikabulkan pengadilan.
“Disepakati dari sekarang, bagaimana nanti proses pengembaliannya ketika banding dikabulkan,” katanya. Deden pun berpendapat, sengketa lahan tersebut bisa diselesaikan tanpa harus menunggu hasil banding yang diajukan pemprov.
“Karena kalau begini terus, berkepanjangan. Jadi, jangan menunggu proses bantahan. Konsultasi ke BPK soal pengeposan anggaran untuk membayar kompensasi,” kata Deden.
Sementara Pemprov Jabar yang diwakili Biro Hukum bersikukuh belum mau membayar kompensasi seperti yang diinginkan ahli waris. Padahal, putusan Peninjauan Kembali yang dikeluarkan Mahkamah Agung pada 1993 menyatakan ahli waris sebagai pemenang atas sengketa itu.
Kepala Biro Hukum Pemprov Jabar Yessy Esmeralda mengatakan, pihaknya enggan membayar ganti rugi karena menilai keputusan hukum tersebut belum selesai. Pemprov Jabar masih menunggu kepastian hukum karena telah mengajukan banding atas putusan MA tersebut. (Ihsan)