Opini  

MUSCAB PERSIS BANJARAN: Menghidupkan Nilai-Nilai Islam di Era Modern

Oleh: Herdiana*

MUSYAWARAH merupakan salah satu konsep fundamental dalam Islam yang menekankan pentingnya konsultasi dan pengambilan keputusan kolektif dalam kehidupan bermasyarakat.

Prinsip ini memiliki landasan kuat dalam Al-Qur’an, seperti dalam QS. Ash-Shura: 38, yang menyebutkan bahwa orang-orang yang beriman adalah mereka yang menjalankan urusan mereka berdasarkan musyawarah.

Konsep ini tidak hanya relevan dalam konteks teologis tetapi juga dalam kehidupan sosial, politik, dan hukum. Namun, di tengah dinamika masyarakat modern, praktik musyawarah sering kali menghadapi tantangan, terutama dalam konteks pluralisme dan struktur sosial-politik yang semakin kompleks.

Dalam konteks ini, Musyawarah Pimpinan Cabang Persatuan Islam (Persis) Banjaran, yang akan dilaksanakan pada Minggu, 22 Desember 2024, di Gedung Graha Desa Baturkarut, Arjasari, Kabupaten Bandung, menjadi momentum penting untuk merefleksikan kembali nilai-nilai musyawarah dalam Islam.

Acara ini diharapkan dapat menjadi sarana bagi para pimpinan dan anggota Persis Banjaran untuk mendiskusikan langkah-langkah strategis dalam menghadapi tantangan umat sekaligus memperkokoh kebersamaan dalam organisasi.

Tujuan Musyawarah dalam Islam

Musyawarah dalam Islam memiliki tujuan utama untuk mencapai keputusan yang adil, maslahat, dan mencerminkan kepentingan kolektif. Sebagaimana diungkapkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas (1993), musyawarah adalah bagian integral dari maqashid al-shariah, yaitu upaya untuk menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Prinsip ini menegaskan bahwa pengambilan keputusan tidak boleh didasarkan pada kepentingan pribadi atau golongan, melainkan harus memperhatikan kemaslahatan umum.

Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan oleh Esposito dan Voll (2001) menyoroti bahwa tujuan musyawarah adalah untuk menciptakan ruang dialog yang inklusif, dimana setiap individu memiliki kesempatan untuk berkontribusi secara setara. Dalam konteks ini, musyawarah juga bertujuan untuk menghindari otoritarianisme dalam pengambilan keputusan, sekaligus mempromosikan akuntabilitas dan transparansi di antara pihak-pihak yang terlibat.

Oleh karena itu, tujuan musyawarah sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi deliberatif, yang menempatkan kepentingan kolektif di atas kepentingan individual.

Selain itu, musyawarah juga memiliki dimensi spiritual. Ia bukan sekadar proses pengambilan keputusan, melainkan juga upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Proses ini mengajarkan keikhlasan, kesabaran, dan pengabdian, yang pada akhirnya berkontribusi pada pembentukan karakter muslim yang bertanggung jawab dan berakhlak mulia.

Praktik Musyawarah dalam Kehidupan Nyata

Secara historis, musyawarah telah menjadi bagian integral dari tradisi kepemimpinan dalam Islam. Rasulullah SAW secara konsisten mempraktikkan musyawarah dalam berbagai aspek kehidupan, seperti dalam Perang Uhud dan perjanjian Hudaibiyah.

Praktik ini menunjukkan bahwa musyawarah bukan hanya sebuah teori, melainkan panduan operasional untuk mencapai keputusan yang bijak dan berkeadilan.

Dalam konteks kekhalifahan, praktik musyawarah juga menjadi landasan dalam pengambilan keputusan. Misalnya, Khalifah Umar bin Khattab sering melibatkan para sahabat dalam diskusi untuk menentukan kebijakan yang strategis. Hal ini memperlihatkan bahwa musyawarah tidak hanya berlaku dalam lingkup kecil, tetapi juga dalam skala pemerintahan yang lebih luas.

Nilai-nilai inklusivitas dan keterbukaan yang diterapkan oleh para pemimpin Islam klasik ini masih relevan hingga saat ini.

Namun, dalam konteks modern, implementasi musyawarah menghadapi sejumlah tantangan. Studi yang dilakukan oleh Ahmed (2015) mencatat bahwa meskipun nilai-nilai musyawarah tetap relevan, praktiknya sering kali terkendala oleh hierarki kekuasaan, ketimpangan sosial, dan minimnya partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.

Sebagai contoh, dalam konteks pemerintahan, musyawarah sering kali terbatas pada elit politik, sehingga tidak mencerminkan aspirasi masyarakat secara luas.

Untuk mengatasi tantangan ini, beberapa peneliti mengusulkan adaptasi nilai-nilai musyawarah dalam sistem demokrasi modern. Misalnya, penelitian oleh Kamali (2019) menyarankan integrasi prinsip-prinsip musyawarah dengan mekanisme deliberasi publik, seperti forum komunitas atau parlemen partisipatif.

Pendekatan ini tidak hanya mempertahankan nilai-nilai inti musyawarah, tetapi juga memungkinkan penerapannya dalam masyarakat yang lebih kompleks dan pluralistik.

Praktik musyawarah juga dapat diterapkan di tingkat lokal dan komunitas. Dalam kehidupan sehari-hari, keputusan-keputusan yang melibatkan keluarga, organisasi, atau komunitas sering kali dapat diambil melalui proses musyawarah. Ini mencakup pengelolaan sumber daya bersama, penyelesaian konflik, hingga pengambilan keputusan strategis yang menyangkut kesejahteraan bersama.

Dalam konteks ini, musyawarah berperan sebagai sarana untuk memupuk solidaritas sosial dan memperkuat ikatan antaranggota masyarakat.

Musyawarah di Era Digital

Dengan berkembangnya teknologi informasi, musyawarah kini memiliki peluang untuk dilakukan melalui platform digital. Forum diskusi daring, aplikasi konferensi video, hingga media sosial dapat menjadi ruang untuk melaksanakan musyawarah secara virtual.

Teknologi ini memungkinkan partisipasi yang lebih luas, terutama bagi individu yang sebelumnya sulit terlibat karena keterbatasan geografis atau waktu.

Namun, penggunaan teknologi dalam musyawarah juga menimbulkan tantangan baru. Salah satunya adalah potensi polarisasi akibat penyebaran informasi yang tidak akurat atau manipulatif.

Oleh karena itu, literasi digital menjadi hal yang sangat penting untuk memastikan bahwa proses musyawarah tetap berjalan dengan baik dan sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Dalam kaitannya dengan Musyawarah Pimpinan Cabang Persis Banjaran, teknologi juga dapat dimanfaatkan untuk memfasilitasi partisipasi yang lebih luas, baik melalui penyebaran informasi pra-acara maupun dalam pelaksanaan diskusi dan pengambilan keputusan.

Dengan demikian, nilai-nilai musyawarah dapat diterapkan secara lebih inklusif dan efisien.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Musyawarah dalam Islam adalah instrumen penting untuk mencapai keputusan kolektif yang adil dan maslahat. Namun, tantangan implementasi dalam konteks masyarakat modern menunjukkan adanya kesenjangan antara tujuan normatif dan praktik nyata.

Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengeksplorasi bagaimana nilai-nilai musyawarah dapat diintegrasikan secara efektif ke dalam struktur sosial-politik kontemporer.

Rekomendasi ini tidak hanya relevan untuk akademisi, tetapi juga bagi para pemimpin komunitas, pembuat kebijakan, dan organisasi masyarakat. Dengan memahami dan mengadaptasi prinsip-prinsip musyawarah, masyarakat muslim dapat menghadapi tantangan zaman tanpa meninggalkan nilai-nilai inti yang menjadi fondasi ajaran Islam.

Selain itu, upaya untuk memanfaatkan teknologi dalam mendukung proses musyawarah juga perlu ditingkatkan. Pendekatan ini dapat membantu menjangkau lebih banyak partisipan sekaligus meningkatkan efisiensi dalam pengambilan keputusan.

Dengan demikian, musyawarah dapat terus relevan dan memberikan manfaat nyata dalam kehidupan masyarakat modern.

Musyawarah Pimpinan Cabang Persis Banjaran di Gedung Graha Desa Baturkarut, Arjasari, merupakan momentum yang tepat untuk merealisasikan nilai-nilai ini. Dengan pendekatan yang inklusif dan berbasis pada nilai-nilai Islam, acara ini diharapkan mampu melahirkan keputusan-keputusan strategis yang tidak hanya menguatkan organisasi, tetapi juga memberikan dampak positif bagi umat secara keseluruhan.

*Penulis: Anggota PJ. Persis Cipaku