
KAB. GARUT, LINTAS JABAR – Anggota MPR RI, Muhammad Hoerudin Amin, S.Ag., MH menjelaskan bahwa dengan memahami filsafat kebudayaan Indonesia, diharapkan kita dapat lebih memahami nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat Indonesia.
Begitu pula, ia memandang dengan filsafat kebudayaan Indonesia juga dapat memperkuat identitas nasional dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga keutuhan dan kesatuan bangsa.
Hal tersebut ia sampaikan pada saat menggelar Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan bersama MD Al Barokah di Cibatu, Kabupaten Garut, Sabtu 23 Agustus 2025.
Sosialisasi yang membahas tentang Pancasila, UUD 1945, NKRI juga Bhineka Tunggal Ika itu merupakan media Sosialisasi Dapil (Sosdap) MPR RI.
Dituturkan Hoerudin sapaan politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini, filsafat kebudayaan Indonesia merupakan suatu sistem pemikiran yang mendasari nilai-nilai, norma, dan perilaku masyarakat Indonesia. Pasalnya filsafat ini terbentuk dari pengalaman, tradisi, dan sejarah bangsa Indonesia.
Menurutnya, filsafat lahir dalam budaya untuk mengkritik dan mereformasi budaya. Karenanya pula, berkat filsafat, budaya mitos dan mitologi perlahan mulai ditinggalkan.
“Disini terlihat jelas bahwa sumbangan filsafat dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun tidak dapat dipisahkan,” jelasnya.
Namun demikian, diungkapkan anggota Komisi X DPR RI ini ada beberapa konsep penting dalam filsafat kebudayaan Indonesia, yakni Pancasila, Gotong-royong, Bhineka Tunggal Ika serta Tri Hita Karana.
Dibeberkan Hoerudin yang berasal dari Dapil Jabar XI bahwa Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia. Pancasila sejatinya mencerminkan nilai-nilai kebudayaan Indonesia, seperti gotong royong, toleransi, dan keadilan sosial.

Selanjutnya, ada Gotong Royong. Dimana konsep gotong royong mencerminkan nilai-nilai kebersamaan, kerja sama, dan saling membantu dalam masyarakat Indonesia.
Dan Bhinneka Tunggal Ika, konsep ini mencerminkan nilai-nilai keanekaragaman dan kesatuan dalam masyarakat Indonesia, yang berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Serta terakhir ada Tri Hita Karana yang secara konsep mencerminkan nilai-nilai keseimbangan dan harmoni dalam masyarakat, yaitu keseimbangan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan.
“Namun dalam proses perjalanannya, filsafat kebudayaan Indonesia juga dipengaruhi oleh berbagai tradisi dan agama, seperti Tradisi Jawa dan Islam. Tradisi Jawa memiliki pengaruh besar dalam filsafat kebudayaan Indonesia, dengan konsep-konsep seperti “batin” dan “lahir”, serta nilai-nilai seperti kesederhanaan dan kesabaran. Begitu juga Islam memiliki pengaruh besar dalam filsafat kebudayaan Indonesia, dengan konsep-konsep seperti “tauhid” dan “akhlaq”, serta nilai-nilai seperti keadilan dan kesetaraan,” paparnya.
Hoerudin menegaskan Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya. Dan setiap suku memiliki budayanya masing-masing.
“Seperti halnya cara pandang, budaya hidup, budaya hubungan manusia, dan lain-lain. Sistem nilai masing-masing budaya diterapkan sedemikian rupa sehingga sistem nilai suatu budaya berbeda dengan sistem nilai budaya lain,” ujarnya.
Namun justru perbedaan tersebut mendorong masyarakat Indonesia untuk hidup berdampingan di tengah multikulturalisme, sehingga perbedaan tersebut tidak menghalangi rasa persaudaraan.
“Perbedaan yang ada melebur menjadi satu budaya yang sama, yaitu budaya Pancasila. Budaya Pancasila yang mengajarkan nilai-nilai ketaatan dan keimanan kepada Yang Maha Esa, menghargai harkat dan martabat orang lain, bersatu meski berbeda-beda, berefleksi dan bermufakat, serta menghargai nilai-nilai keadilan sehingga terwujud saling persamaan,” pungkasnya. (*red)