
Oleh: Drs. H. Daddy Rohanady*
ANGGARAN Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jawa Barat kini tengah menghadapi turbulensi jilid ketiga (3) diakibatkan oleh turunnya dana transfer ke daerah (TKD) dari pusat sebesar Rp 2,458 triliun.
Padahal, volume APBD Jawa Barat pernah menagalami masa keemasan yaitu mencapai hingga Rp44 triliun, namun kini nilainya terkoreksi tajam hingga menyentuh angka sekitar Rp31,85 triliun.
Perjalanan fiskal Jawa Barat memang tidak pernah sepi dari tantangan. Bila ditarik ke belakang, APBD Jabar pernah menunjukkan tren positif, tumbuh stabil hingga mencapai puncaknya di kisaran Rp44 triliun.
Namun, badai pandemi Covid-19 pada tahun 2020 menjadi awal mula turbulensi jilid pertama. Dampaknya dirasakan sangat luar biasa: Kala itu penerimaan daerah anjlok, kegiatan ekonomi terhenti, dan belanja publik pun terkoreksi hingga sekitar Rp10 triliun atau mengalami penurunan hampir 25 persen.
APBD Jabar sempat rebound ke angka Rp37 triliun dari Rp.44 triliun. Setelah pandemi mereda, kondisi fiskal perlahan mulai pulih. Namun, pemulihan itu tidak berlangsung lama, sebab APBD Jabar mengalami turbulensi jilid kedua.
Dalam turbulensi jilid kedua, kali ini akibat diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Aturan baru tersebut membawa perubahan besar pada struktur pendapatan daerah, terutama pada bagi hasil pajak dan transfer ke daerah. Akibatnya, volume APBD Jabar kembali terjun bebas dari Rp37 triliun menjadi sekitar Rp31 triliun.
Kini, menjelang tahun 2026, potensi turbulensi jilid ketiga mulai terasa dengan hadirnya kebijakan baru terkait Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang akan diimplementasikan penuh pada tahun tersebut.
Kebijakan ini diprediksi kembali mengoreksi pendapatan daerah, terutama pada sektor-sektor yang selama ini menjadi andalan Jabar dalam menggerakkan ekonomi daerah.
Dampak logis dari kondisi ini tentu terasa hingga ke berbagai lini pelayanan publik. Sejumlah program pembangunan dan kegiatan pemerintahan harus mengalami penyesuaian.
Pemangkasan anggaran perjalanan dinas menjadi langkah awal penghematan. Bahkan, seperti yang disampaikan Gubernur, suasana efisiensi kini benar-benar terasa: “Besok-besok kalau bertamu ke Jawa Barat, mungkin tidak ada lagi kue, yang ada hanya air putih.”
Namun di balik keterbatasan itu, semangat yang diusung tetap positif: biarlah ASN berpuasa, yang penting rakyat tetap berpesta.
Spirit ini tentunya mencerminkan tekad agar pelayanan publik tidak berhenti hanya karena ruang fiskal menyempit. Kendati demikian, ada hal penting yang perlu dicermati. Penghematan jangan sampai menurunkan kualitas pengawasan dan kinerja aparatur.
Bagaimana ASN bisa melakukan kontrol lapangan jika anggaran perjalanan dinas (SPPD) dipangkas habis?
Pengawasan yang tidak berjalan akan berdampak langsung pada kualitas pembangunan dan efektivitas program pemerintah.
Tantangan fiskal ini seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat efisiensi dan inovasi dalam pengelolaan keuangan daerah. Transparansi, digitalisasi pengelolaan anggaran, dan penguatan kemandirian fiskal melalui optimalisasi potensi pajak lokal perlu terus didorong.
Pada akhirnya, turbulensi fiskal bukan alasan untuk menyerah, melainkan panggilan untuk berbenah.
Jawa Barat harus tetap menjaga semangatnya untuk menjadi “Jabar Istimewa ” bukan hanya dalam slogan, tetapi juga dalam implementasi kebijakan yang berorientasi pada rakyat.
Semoga badai fiskal ini segera berlalu, dan Jawa Barat kembali menemukan jalur penerbangannya menuju kesejahteraan rakyat.
Salam sehat dan tetap semangat
*Penulis: Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat