[lintasjabar tkp=] Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat berencana akan menyalurkan bantuan Jaring Pengaman Sosial (JPS). Adapun penerima bantuan rencananya diambil dari data sensus ekonomi pada tahun sebelumnya berada di 40 persen ekonomi terbawah.
Bantuan yang bersumber dari APBD Provinsi Jawa Barat dengan total 3,2 trilyun tersebut direncanakan untuk 4 bulan ke depan, serta ada juga bantuan yang bersumber dari pusat.
Disebutkan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, para penerima bantuan nantinya akan diklasifikasi menurut dan disesuaikan golongan. Sementara ada dua golongan yakni golongan A dan golongan B.
Dijelaskan untuk golongan A adalah warga Jabar yang berada 25 % ekonomi terbawah akan dibantu pemerintah pusat dengan APBN melalui Kartu Sembako dan Kartu PKH. Dan mereka yang jadi pengangguran akan dibantu Kartu Prakerja.
Sedangkan untuk golongan B bantuan bagi warga Jabar yang berada di rentang 25% sampai dengan 40% ekonomi terbawah. Disambung Emil, tadinya golongan ini hidup mandiri namun golongan ini jatuh pada rawan miskin karena covid.
“Agar ekonomi pasar tetap berjalan, maka sembako dibeli dari pedagang pasar dan Bulog, lalu akan dikirim oleh ojek online atau ojek pangkalan dan PT POS, langsung kepada rumah tangga yang berhak,” ujar Emil panggilan akrab gubernur.
[xyz-ips snippet=”bacajuga”]
Hingga kini, sambungnya, pendataan golongan B sedang dilakukan oleh RT/RW. Dimungkinkan pada pertengahan April sudah bisa didistribusikan, jika dalam proses pendataannya lancar.
“Jika yang merasa berhak namun terlewat pendataan, akan dilakukan revisi data di gelombang berikutnya,” pungkasnya.
Menanggapi hal tersebut, anggota Komisi I DPRD Jawa Barat, H. Arif Hamid Rahman, SH menilai agar sebaiknya gubernur mempertimbangkan bantuan yang akan disalurkan bagi penerima baik kota kabupaten dari provinsi tidak berupa barang sembako, tetapi bantuan tersebut berupa jumlah nominal untuk kemudian pemerintah kota kabupaten yang akan menyesuaikannya sesuai data dan kebutuhan di lapangan masing-masing wilayah.
“Umumnya bantuan yang sifatnya langsung sangat riskan terjadi masalah di tataran masyarakat penerima bantuan. Baik besaran atau bentuk bantuannya. Maka itu, hasil sharing dan diskusi dengan Walikota Bandung serta sebelumnya dengan Walikota Cimahi justru berharap bantuan lebih kepada berupa nominal agar lebih sinkron di lapangan terutama menghindari penerima bantuan ganda, baik bantuan dari pusat, provinsi maupun kota,” terang Arif menyinggung hasil kunker bersama Pemkot Bandung dan Pemkot Cimahi, Selasa (7/4/2020).
Menurut anggota Fraksi Gerindra Persatuan ini dari dapil I ini, sumber bantuan selain berasal dari pusat, ada dari provinsi dan kota. Namun dirinya mempertanyakan data para penerima bantuan yang dimiliki Pemprop Jabar apakah akan efektif sesuai dan tepat sasaran.
Selain itu pula dirinya mempertanyakan teknis pendistribusian yang melibatkan PT. Pos maupun pihak ketiga lainnya, sebab hal itu akan berdampak pula pada cost kiriman atau shipment fee.
“Dari hasil kunker dan diskusi dengan Pemkot Bandung dan Pemkot Cimahi, sejauh ini kedua instansi tersebut akan membaca dahulu bagaimana alur yang disiapkan pihak Pemprov Jabar. Sementara informasi yang kami dapat, data calon penerima memang sudah mereka sampaikan,” ujarnya.
Diharapkannya, data para penerima bantuan antara provinsi dengan kota kabupaten terjadi sinkronisasi, terkait berapa jumlah penerima, siapa saja yang berhak menerima bantuan serta validitas data alamat penerima di lapangan.
[xyz-ips snippet=”bacajuga”]
“Khawatirnya ada diantara penerima yang mendapat dobel bantuan, umpamanya dari provinsi dapat dan dari kota pun dia mendapatkan. Sementara banyak warga yang berhak lainnya justru terabaikan dan terlewatkan. Sebab itu, sumber data keduanya harus benar-benar sinkron,” katanya.
Selain itu Arif berharap besaran angka bantuannya pun haruslah sama dan merata, tidak tumpang tindih juga tidak pula dobel bantuan karena dikhawatirkan bila di masyarakat terjadi perbedaan sedikit saja akan berpengaruh dan menimbulkan polemik.
“Besaran bantuan juga haruslah sama, karena bila terjadi perbedaan antara penerima si A dan si B justru khawatir akan memunculkan polemik baru. Begitu pula sejauh ini kami menerima banyaknya keluhan, soal pendistribusian yang tidak sesuai dikarenakan adanya “pilih kembang” atau nepotisme dengan pengurus RT atau RW,” paparnya. (San)