DALAM suatu kunjungan ke Madiun, Jawa Timur, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menegaskan pemerintah menetapkan porang menjadi salah satu komoditas pertanian unggulan baru untuk menopang kebutuhan pangan dalam negeri dan layak ekspor.
Presiden Jokowi menilai tanaman porang memiliki nilai jual yang sangat besar. Hal terlihat dari pasar yang masih terbuka lebar untuk digarap dalam negeri dan permintaan yang tinggi untuk pasar ekspor.
Data Dirjen Tanaman Pangan Kementan menyebutkan porang sudah diekspor ke 16 negara. Tiga negara terbesar adalah Cina, Thailand, dan Vietnam. Pada tahun 2020, jumlah porang yang diekspor sebanyak 19.800 ton dengan nilai Rp880 miliar.
Saat ini porang diekspor dalam bentuk irisan tipis kering yang harganya sekitar Rp55 ribu per kilogram. Selain itu, porang dikirim ke pasar luar negeri dalam bentuk tepung dengan nilai jual mencapai Rp100 ribu hingga Rp150 ribu per kilogram.
Porang yang masuk dalam klasifikasi umbi-umbian dengan nama marga Amorphophallus dapat diolah menjadi berbagai macam produk turunan, di antaranya berupa beras, mie, kwetiau, bakso, sosis, es krim dan lainnya. Nilai lebih porang lainnya adalah sebagai pilihan sumber karbohidrat pengganti beras.
Dengan mempertimbangkan nilai komersialnya yang tinggi, maka diperlukan tata kelola yang baik mulai dari hulu, budidaya, hingga hilir. Hal ini untuk menjamin kesinambungan pasar porang baik di dalam maupun di luar negeri.
Untuk mendorong pertumbuhan tanaman porang ini, bank bjb telah mengucurkan kredit untuk pembiayaan 100 hektare (ha) lahan porang di Jabar. Sesuai dengan kapasitas offtaker, saat ini lokasi tanaman porang yang dibiayai bank bjb berada di Kabupaten Subang, Majalengka, Garut, dan Bandung.
Pembiayaan lahan porang ini tidak cuma di Jabar, dalam waktu dekat bank bjb akan memperluasnya ke seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, dipetakan target luas lahan tanaman porang nasional tahun 2020 adalah 19.950 ha dan 2021 seluas 47.641 ha. Lahan tersebut tersebar di 15 provinsi dan ditargetkan maksimal pada 2024 menjadi 100.000 ha yang didukung industri hilir atau olahan dan pasarnya.
Direktur Komersial dan UMKM bank bjb, Nancy Adistyasari, mengatakan pembiayaan yang dikucurkan dengan bunga rendah ini untuk meningkatkan kesejahteraan petani porang. Sesuai ketentuan, kredit usaha rakyat (KUR) tanpa agunan diberikan bunga 6 persen.
Berdasarkan perhitungan teknis, menurut Nancy, kebutuhan modal untuk setiap hektare lahan porang itu sebesar Rp198 juta. Nancy menegaskan kredit akan dicairkan kepada setiap petani, yakni mereka yang lolos penyaringan offtaker.
Offtaker wajib memberikan pendampingan kepada petani sehingga offtaker harus memiliki tim agronomis yang bertugas melihat perkembangan di lapangan. Hubungan antara offtaker dengan petani harus berjalan dengan saling memberikan manfaat.
Pada masa panen, offtaker wajib membeli produk yang dihasilkan petani. Petani pun diharuskan menjual komoditasnya ke offtaker. Sebagai jaminan pasar hasil panen, antara petani dan offtaker sebelumnya terikat perjanjian mengenai harga bawah dan harga atas komoditas.
Dalam perhitungan yang disebutkan sebelumnya, dari modal sebesar Rp198 juta per hektare dalam jangka waktu 18 bulan dapat menghasilkan panen senilai Rp840 juta hasil dari penjualan umbi plus buahnya (katak). Maka jika dihitung potensi keuntungannya selama 18 bulan tercapai angka Rp642 juta atau Rp35 juta perbulannya.
Namun jika harganya sedang naik, dalam satu hektare lahan porang bisa menghasilkan panen mencapai Rp1 miliar.
Secara umum pemerintah menargetkan penyaluran KUR di sektor pertanian pada 2021 mencapai Rp 70 triliun. Per Juli 2021, seperti yang disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, realisasi KUR khusus sektor pertanian sudah mencapai Rp42,7 triliun.
Merujuk amanat Presiden Jokowi, maka bank bjb akan terus melakukan sinergitas dengan berbagai pihak untuk mendorong pertumbuhan usaha pertanian yang menjadi salah satu sektor yang tumbuh positif di tengah pandemi Covid-19. Sinergitas ini juga diarahkan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. (*)