
Oleh: Ihsan Nugraha*
Desember tahun lalu, PT. Bandung Daya Sentosa (BDS) salah satu Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) andalan Kabupaten Bandung, meraih penghargaan sebagai penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) tertinggi.
Capaian itu tentu patut diapresiasi. Namun hanya berselang beberapa waktu, publik dikejutkan dengan informasi bahwa BDS menanggung utang yang nilainya, telah melampaui Rp100 miliar.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah kita sedang menyaksikan keberhasilan riil sebuah BUMD, atau hanya sedang terpukau oleh angka-angka prestasi yang menutupi masalah laten di balik layar?
Prestasi yang Dipertanyakan
Kontribusi terhadap PAD semestinya menjadi cerminan dari kesehatan finansial dan efisiensi operasional. Namun capaian itu menjadi kontradiktif jika pada saat yang sama perusahaan mengalami kesulitan membayar mitra kerjanya. Vendor-vendor yang belum menerima hak mereka tentu mempertanyakan integritas dan kapabilitas perusahaan.
Lebih jauh, publik mulai meragukan bagaimana penghargaan itu bisa diberikan jika di saat bersamaan fondasi keuangan perusahaan tengah rapuh.
Tidak mengherankan jika saat ini muncul dorongan dari publik agar DPRD Kabupaten Bandung membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk mengungkap secara menyeluruh kondisi sebenarnya dari BDS. Ini bukan sekadar reaksi emosional, melainkan bentuk tanggung jawab kolektif untuk menjaga agar BUMD tetap berjalan sesuai tujuannya: melayani kepentingan publik, bukan menjadi beban fiskal daerah.
Risiko yang Tidak Bisa Diabaikan
Gagal bayar bukan sekadar masalah cashflow. Ia bisa berubah menjadi krisis legitimasi bagi Pemerintah Kabupaten Bandung. Sebab BDS bukan entitas privat, ia adalah perpanjangan tangan pemerintah. Bila vendor membawa persoalan ini ke jalur hukum, maka bukan hanya perusahaan yang dipertanyakan, tetapi juga integritas pemerintah sebagai pemilik dan pembina.
Lebih dari itu, situasi semacam ini rawan menjadi pintu masuk bagi praktik manipulatif: laporan keuangan yang direkayasa, proyek yang dilaporkan tapi tidak dikerjakan, penggunaan dana yang menyimpang. Dalam tekanan mempertahankan citra, segala cara bisa ditempuh.
Dan bila ini dibiarkan, maka bukan hanya BDS yang ambruk, tapi kepercayaan publik terhadap seluruh sistem pengelolaan BUMD di Kabupaten Bandung bisa ikut runtuh.
Jalan Pulang: Transparansi dan Keberanian Politik
Masalah ini tidak bisa diselesaikan dengan sekadar pernyataan normatif atau tambal sulam administratif. Yang dibutuhkan adalah keberanian politik untuk membongkar persoalan secara transparan, melakukan audit menyeluruh, dan menempatkan kepentingan publik di atas pencitraan institusional.
DPRD Kabupaten Bandung memiliki amanah untuk bertindak. Publik tidak menuntut kesempurnaan, tapi kejujuran. Tidak menuntut keajaiban, tapi langkah konkret yang bisa menyelamatkan masa depan tata kelola BUMD dari krisis yang lebih besar.
Kini, semuanya kembali pada pilihan: apakah krisis ini akan menjadi batu loncatan menuju pembenahan menyeluruh, atau justru menjadi bukti bahwa sistem ini telah lama kehilangan arah?
*Penulis: Direktur Al-Furqon Institute