Demokrasi Kita Sedang Kehilangan Tuhan: Saatnya Kembali ke Tauhid Pembebasan

Oleh: Herdiana*

DEMOKRASI tanpa nilai adalah demokrasi yang rapuh. Ia mungkin hidup dalam prosedur, tetapi sekarat dalam substansi. Inilah potret demokrasi kita hari ini: semarak dalam pemilu, tapi sunyi dari keadilan. Rakyat hadir saat kampanye, tetapi menghilang dari prioritas kebijakan. Padahal, demokrasi semestinya bukan hanya tentang siapa yang terpilih, tetapi untuk siapa kekuasaan dijalankan.

Dalam kegaduhan politik elektoral yang makin pragmatis dan transaksional, kita butuh kompas moral baru. Dan di tengah arus sekularisasi sistem politik, gagasan Tauhid Pembebasan—seperti yang digagas Ali Syari’ati—datang sebagai pengingat sekaligus tawaran jalan keluar. Sebuah cara pandang yang tidak menolak demokrasi, tetapi mengoreksi arah dan tujuannya.

Apa yang Salah dengan Demokrasi Kita?

Secara prosedural, demokrasi Indonesia terlihat berjalan: pemilu dilaksanakan lima tahun sekali, partisipasi pemilih tinggi, dan kekuasaan berpindah secara damai. Tapi substansinya mulai merapuh. Uang, bukan nilai, yang menggerakkan suara. Partai menjadi kendaraan pribadi, bukan rumah gagasan. Elit politik lebih sibuk melanggengkan kekuasaan ketimbang membela kepentingan rakyat. Apakah ini demokrasi yang kita perjuangkan dulu? Apakah ini cita-cita reformasi?

Demokrasi semacam ini, meskipun sah secara hukum, kehilangan jiwa secara etika. Ia jadi semacam ritual politik yang tak lagi menyentuh penderitaan rakyat. Ia berjalan tanpa kompas nilai. Inilah yang dimaksud kehilangan Tuhan—bukan secara literal, tetapi secara moral dan spiritual.

Tauhid Pembebasan: Jalan Spiritualitas Sosial

Ali Syari’ati, pemikir revolusioner asal Iran, menawarkan pandangan yang menyegarkan: Tauhid bukan hanya konsep teologis, melainkan juga ideologi emansipatoris. Bagi Syari’ati, Tauhid adalah perlawanan terhadap segala bentuk ketundukan selain kepada Tuhan—termasuk ketundukan pada elit politik, sistem ekonomi yang menindas, atau budaya konsumtif yang merendahkan akal.

Tauhid dalam pengertian ini bukan hanya tentang “percaya kepada Tuhan”, melainkan tentang menolak segala bentuk perbudakan manusia atas manusia. Ia mengajarkan keberanian untuk tidak tunduk kepada kekuasaan yang zalim, sistem yang tidak adil, dan agama yang hanya menjadi formalitas ritual.

Jika nilai ini kita tanamkan ke dalam demokrasi, maka sistem politik tidak hanya memfasilitasi suara mayoritas, tapi juga menegakkan keadilan substantif.

Mengapa Indonesia Butuh Demokrasi yang Bertauhid?

Indonesia bukan negara sekuler. Tapi kita juga bukan negara agama. Kita adalah bangsa yang dibentuk oleh spiritualitas yang hidup dalam ruang publik. Demokrasi kita, kalau ingin tahan lama dan berakar kuat, harus berpijak pada nilai-nilai etis dan spiritual, bukan semata pada prosedur pemilu.

Tauhid Pembebasan membantu kita merumuskan demokrasi yang berpihak:

● Berpihak pada yang lemah, bukan pada yang kuat.

● Berpihak pada yang tertindas, bukan yang menguasai.

● Berpihak pada kebenaran, bukan pada kekuasaan.

Dengan pendekatan ini, demokrasi tidak hanya menampung suara, tapi juga mengangkat derajat rakyat. Ia bukan sekadar sistem politik, tapi juga jalan spiritual menuju keadilan.

Refleksi bagi Ulama dan Akademisi: Peran Etik di Tengah Krisis Demokrasi

Di sinilah ulama dan akademisi memiliki peran strategis. Ulama adalah penjaga nilai, bukan sekadar pengampu hukum fikih. Dan akademisi adalah penafsir realitas, bukan hanya penyusun teori. Keduanya mesti hadir aktif mengingatkan bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan alat bisnis. Bahwa politik adalah tanggung jawab moral, bukan sekadar arena transaksi.

Demokrasi yang bertauhid membutuhkan kontribusi dari kalangan berilmu dan beriman. Bukan untuk mencampuradukkan agama dan negara secara institusional, tapi untuk mengembalikan ruh etik dan spiritual ke dalam kehidupan politik kita.

Penutup: Demokrasi Tanpa Tauhid Adalah Ilusi Kebebasan. Pertanyaan yang paling mendasar hari ini bukanlah: Apakah Islam kompatibel.

    *Penulis: Mahasiswa Pasca Sarjana UIN SGD Bandung/Aktifis Sosial