HIMA Persis Soroti Peringatan Sumpah Pemuda, Refleksi Kritis Atas Kondisi Pemuda di Jawa Barat

Ketua Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam (HIMA PERSIS) Jawa Barat, Riyan Hidayatullah. (Poto: ist)

BANDUNG, LINTAS JABAR — Ketua Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam (HIMA PERSIS) Jawa Barat, Riyan Hidayatullah, menyoroti peringatan Sumpah Pemuda tahun ini dengan refleksi kritis terhadap kondisi pemuda di Jawa Barat.

Menurutnya, semangat Sumpah Pemuda 1928 yang menegaskan satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air kini menghadapi ujian baru di tengah realitas sosial dan ekonomi yang semakin kompleks.

Riyan menilai, setelah sembilan puluh tujuh tahun berlalu, idealisme Sumpah Pemuda perlu dibaca kembali dalam konteks data dan kebijakan publik.

“Kita perlu menilai sejauh mana semangat itu masih hidup dalam kehidupan sosial pemuda hari ini,” ujarnya dalam keterangannya, Selasa (28/10/2025).

Data IPP Jawa Barat dan Paradoks Pemuda

Berdasarkan Indeks Pembangunan Pemuda (IPP) Jawa Barat 2024, capaian provinsi ini meningkat menjadi 51,17 poin, naik sekitar 1,5 poin dari tahun 2022. Sekilas terlihat optimistis, namun menurut Riyan, peningkatan tersebut belum menyentuh aspek-aspek fundamental dalam pembangunan kepemudaan.

“Perbaikan hanya tampak pada domain kesehatan dan kesejahteraan serta lapangan kerja. Sedangkan pendidikan, partisipasi dan kepemimpinan, serta kesetaraan gender masih stagnan,” ungkapnya.

Ia juga menyoroti rendahnya partisipasi pemuda dalam organisasi yang hanya 3,84%, sementara yang aktif memberi saran dalam rapat publik tidak sampai 5%. Angka partisipasi kasar perguruan tinggi pun baru mencapai 25,57%, jauh di bawah rata-rata nasional yang mencapai 31,45%.

“Ini paradoks besar. Jawa Barat memiliki populasi muda yang sangat besar, tapi semangat kolektifnya tersumbat oleh sistem sosial dan birokrasi yang kaku,” kata Riyan.

Dari Sumpah Pemuda ke ‘Sumpal Pemuda’

Dalam refleksinya, Riyan memperkenalkan istilah “Sumpal Pemuda”, yang menggambarkan kondisi ketika potensi besar generasi muda justru tersumbat oleh struktur sosial yang tidak adaptif.

“Pendidikan yang terfragmentasi, birokrasi yang menumpulkan inisiatif, dan budaya digital yang menciptakan keterasingan sosial adalah faktor-faktor yang menghambat kemajuan pemuda,” jelasnya.

Menurutnya, pemuda Jawa Barat kini hidup di dunia digital yang membuat mereka terhubung secara daring, tetapi terputus secara sosial; terdidik secara akademik, tetapi miskin ruang refleksi dan keberanian moral.

Menyalakan Kembali Semangat Sumpah Pemuda

Riyan menegaskan, Sumpah Pemuda seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai peristiwa sejarah, tetapi sebagai tolok ukur tanggung jawab kebijakan publik terhadap generasi muda.

“Kebangkitan pemuda tidak cukup diukur dari angka IPP, tetapi dari sejauh mana mereka diberi ruang untuk berperan, memimpin, dan berinisiatif,” tegasnya.

Ia juga menyerukan agar Jawa Barat membangun kembali ekosistem kepemudaan yang memperkuat karakter, kepemimpinan, dan partisipasi sosial.

“Kalau dulu Sumpah Pemuda lahir dari keberanian intelektual, maka tugas kita sekarang adalah memastikan sumpah itu tidak berubah menjadi sumpal akibat sistem yang menutup jalan juang mereka,” pungkas Riyan. (Red)