BANDUNG (Lintasjabar.com),- Pemerintah Provinsi Jawa Barat memohon pengecualian kepada Kementerian Dalam Negeri agar usulan pemekaran beberapa daerah di Jabar, dikabulkan Kemendagri. Permohonan itu diungkapkan Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, dalam acara Diseminasi Desain Besar Penataan Daerah (Desartada) di Indonesia tahun 2010-2025, di Hotel Grand Aquilla, Kamis (9/6).
Permohonan pengecualian itu diajukan seiring turunnya moratorium Kemendagri tentang aturan pemekaran di Indonesia, sejak tahun lalu. Melalui moratorium itu, Kemendagri tidak akan merekomendasi usulan pemekaran di daerah-daerah, baik provinsi baru ataupun kabupaten/kota. “Ya, kami harap, untuk Jabar ada pengecualian karena baru beberapa tahun ini Jabar memulainya. Kita sedang semangat-semangatnya melakukan pemekaran, lalu muncul moratorium,” kata Heryawan.
Heryawan menuturkan, pemekaran di Jabar dirasa cukup mendesak. Itu didasari sejumlah indikator seperti pelayanan publik, percepatan pembangunan, dan jumlah penduduk. Untuk Jabar, sedikitnya ada empat usulan daerah pemekaran yaitu Kab. Bogor Barat, Kab. Pangandaran, Kab. Garut Selatan, dan Kab. Sukabumi Utara.
Heryawan memberi contoh kondisi Kab. Bogor dengan jumlah penduduk yang mencapai 4,7 juta orang. “Sementara di daerah lain, satu provinsi ada yang jumlah penduduknya hanya 1 juta orang. Karenanya, sangat wajar jika Kabupaten Bogor untuk dimekarkan, termasuk daerah lainnya. Selain untuk meningkatkan pelayanan publik, juga untuk mempercepat pembangunan,” ucapnya.
Namun tentunya, Pemprov. Jabar akan mencoba mempersiapkan daerah-daerah tersebut, sebelum benar-benar dimekarkan. “Mungkin mengadopsi cara-cara dulu yaitu dibentuk seperti kota administratif selama satu hingga dua tahun. Jika pemerintahan sudah mulai berjalan, dan pelayanan publik mulai berjalan, baru dimekarkan,” ucapnya.
Menanggapi permintaan tersebut, Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) dari Kementrian Dalam Negeri, Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, hanya tertawa. “Yah, permintaannya cuma satu. Tidak macam-macam. Hanya minta pengecualian saja kan. Ha ha ha,” ucapnya.
Djohan menjelaskan, memang sejak tahun lalu Kemendagri mengeluarkan moratorium soal pemekaran daerah. Kini, Kemendagri berkoordinasi dengan sejumlah pemerintahan provinsi, sedang mengevaluasi aturan tentang otonomi daerah yaitu UU No. 32/2004 tentang Otonomi Daerah. “Pasalnya, sejak munculnya aturan tentang otda, aspirasi pemekaran sangat deras dan sulit dibendung,” katanya.
Berdasarkan data yang ada, sejak 10 tahun terakhir (1999-2009), telah terbentuk 205 daerah otonomi baru (dob) yang terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Menurut Djohan, dengan data itu, Indonesia menjadi negara yang paling banyak mencetak daerah otonom baru dalam satu dekade terakhir. “Namun ini tidak bisa disebut prestasi. Ketika di negara-negara lain lebih memilih penggabungan teritori, sementara kita malah memekarkan diri,” katanya.
Dengan penambahan 205 dob tadi, kini di Indonesia ada 524 daerah otonom terdiri dari 33 provinsi, 398 kabupaten dan 93 kota, belum termasuk 6 daerah administratif di DKI Jakarta. Dan itu kemungkinan terus bertambah karena berdasarkan Desartada hingga 2025 nanti, akan ada tambahan 13 provinsi dan 54 kota/kabupaten. “Kalau yang mengusulkan, malah lebih banyak lagi. Mencapai 186 usulan yang minta dimekarkan,” katanya.
Penambahan dob itu, tentunya berkonsekuensi pada beban APBN. Djohan memaparkan, di tahun 2003, pemerintah pusat menyediakan Dana Alokasi Umum untuk 22 dob sebesar Rp 1,33 triliun. Di tahun 2007, melonjak mencapai Rp 47,9 triliun. “Beban APBN terus bertambah. Apalagi, di beberapa daerah pemekaran, pemerintah pusat juga harus mengalokasikan Dana Alokasi Khusus untuk membiayai infrastruktur,” katanya.
Djohan menambahkan, dari evaluasi terhadap 205 dob, sebagian besar perkembangannya tidak memuaskan. Ternyata, pemekaran yang sudah berjalan, bahkan sampai tiga tahun, tidak efektif menuntaskan masalah. “Ukurannya seperti upaya meningkatkan pelayanan publik yang yang tidak berkembang, kesejahteraan masyarakat tidak naik, tata kelola pemerintahan tetap kacau, dan tidak mampu meningkatkan daya saing daerah. Hasilnya, jauh dari harapan. Daerah-daerah ini akan kami bina selama 1 sampai 2 tahun. Kalau tidak menunjukkan perbaikan, dikembalikan saja ke daerah induknya dulu,” ujarnya.
Kegagalan tersebut, kata Djohan, karena dob-dob itu belum ada persiapan sebelumnya. Semestinya, sebelum pembentukan dob, dibentuk dulu seperti kota-kota administratif. “Sampai diketahui cukup personil, pembiayaan, dan peralatan. Nanti secara bertahap dievaluasi, baru diajukan ke DPR. Jadi, pembentukan daerah pemekaran itu harus rasional, bukan emosional,” ujarnya. (san)