
Oleh: Drs. H. Daddy Rohanady*
BADAN Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Provinsi Jawa Barat baru-baru ini melakukan konsultasi ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Kunjungan tersebut menjadi langkah penting dalam membahas rencana perubahan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), yang sebelumnya dikenal dengan nama Pendapatan Daerah dan Retribusi Daerah.
Fokus utama dari konsultasi ini adalah penyelarasan regulasi daerah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Undang-undang ini membawa perubahan mendasar terhadap sistem pengelolaan keuangan daerah, termasuk mekanisme pajak, retribusi, dan transfer ke daerah.
Perubahan Perda PDRD menjadi sangat krusial karena diharapkan dapat mulai diimplementasikan pada tahun 2026 mendatang. Namun, agar regulasi ini efektif, kesepakatan dan penetapannya harus dilakukan pada tahun ini.
Bila pembahasan molor, maka implementasi di 2026 akan tertunda dan dapat berimplikasi serius terhadap pendapatan daerah.
Masalahnya, Perda lama ditambah Perda No 9 Tahun 2023 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, belum sempat terimplementasi secara optimal ketika Undang-Undang HKPD diberlakukan.
Kini muncul pula rencana revisi sebagian terhadap pasal 98 dan 99 undang-undang tersebut. Revisi itu memberi konsekuensi baru bagi daerah, salah satunya adalah batas waktu penyelesaian 15 hari setelah menerima komentar atau hasil evaluasi dari Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri.
Inilah titik krusial yang sedang dihadapi Jawa Barat. Bila pemerintah daerah tidak mampu menyelesaikan revisi perda dalam waktu yang ditentukan, maka akan ada sanksi berupa pengurangan dana transfer ke daerah (TKD).
Padahal, saat ini saja Jawa Barat masih menghadapi pengurangan TKD akibat kebijakan penyesuaian nasional.
“Jangan sampai terjadi penurunan dana lagi hanya karena kelambatan penyesuaian satu perda,” begitu kira-kira pesan penting yang menjadi perhatian dalam konsultasi tersebut.
Sektor yang paling terdampak dari perubahan ini adalah retribusi daerah yang berkaitan dengan kendaraan bermotor (KB), bahan bakar minyak (BBM), dan pajak air permukaan (PAP).
Padahal, ketiga sektor ini sejatinya merupakan potensi besar bagi peningkatan pendapatan daerah di masa mendatang.
Jika regulasinya tidak cepat disesuaikan, potensi penerimaan itu bisa tertahan atau bahkan hilang.
Sebagai gambaran, pada tahun 2025 nanti, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jabar diperkirakan menurun sekitar Rp2,458 triliun, dengan tambahan potensi target tidak tercapai sebesar Rp1,1 triliun. Angka tersebut menjadi tantangan berat bagi Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang di saat bersamaan juga harus menyesuaikan diri dengan berbagai aturan baru di bidang keuangan daerah.
Namun, tantangan ini tidak boleh disikapi dengan pesimisme. Perubahan regulasi justru bisa menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola pendapatan daerah, memperkuat basis pajak lokal, dan mendorong efisiensi dalam belanja publik.
Kuncinya ada pada sinergi antara DPRD, pemerintah provinsi, dan kementerian terkait agar revisi perda dapat diselesaikan tepat waktu dan implementatif.
Jawa Barat membutuhkan kepastian regulasi agar tidak terus terseret dalam turbulensi fiskal yang sudah berlangsung sejak pandemi.
Karena pada akhirnya, yang dipertaruhkan bukan hanya angka dalam lembar APBD, tetapi juga keberlanjutan pembangunan dan pelayanan publik bagi lebih dari 50 juta warga Jawa Barat.
*Penulis: Wakil Ketua Bapemperda DPRD Jawa Barat