
BANDUNG, LINTAS JABAR — Menyusul kejadian pembagian minuman keras (bir) secara terbuka oleh komunitas Free Runners yang didukung oleh sponsor Pace and Place dalam acara Pocari Sweat Run Indonesia (PSRI) 2025, Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung melalui Tim Yustisi telah memanggil dan menindak tegas atas pelanggaran tersebut.
Pasalnya tindakan itu dinilai mencederai etika publik, melanggar Perda Kota Bandung, dan memicu kegaduhan di masyarakat.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Fraksi NasDem DPRD Kota Bandung, Rendiana Awangga, menyampaikan apresiasinya atas langkah cepat dan tegas yang diambil Wali Kota Bandung Farhan dan Wakil Wali Kota Erwin dalam menyikapi insiden pembagian bir gratis di ruang publik dalam sebuah event olahraga baru-baru ini.
Menurut Kang Awang, tindakan ini sangat penting sebagai sinyal bahwa keresahan masyarakat juga merupakan keresahan Pemerintah Kota Bandung.
Ia menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh bersikap pasif terhadap pelanggaran nilai-nilai publik yang dapat menimbulkan kegaduhan sosial.
“Masyarakat perlu melihat bahwa pemimpinnya hadir, tidak tutup mata, dan tidak membiarkan hal-hal yang menimbulkan keresahan menjadi biasa. Tindakan tegas ini adalah bentuk empati politik kepada warganya,” ujar Kang Awang, di Bandung, Kamis 24 Juli 2025.
Menegakkan Perda, Bukan Gertakan
Kang Awang juga menekankan bahwa langkah Pemkot Bandung sejalan dengan amanat Perda tentang Pengendalian Minuman Beralkohol. Meski bir tergolong minol golongan A dengan kadar alkohol rendah, aturan daerah tetap harus ditegakkan untuk menjaga norma sosial dan ketertiban umum.
“Kita punya aturan, dan aturan itu bukan untuk hiasan. Pemerintah telah menunjukkan bahwa Perda bukan sekadar formalitas, tapi benar-benar dijalankan dengan konsisten,” tambahnya.
Restoratif Justice: Hukuman Tak Selalu Pidana
Namun demikian, Awang mengingatkan bahwa penegakan hukum tidak melulu soal pidana. Pendekatan keadilan restoratif bisa menjadi jalan tengah yang bijak, apalagi bila motif pelanggaran bukan untuk merusak, melainkan hanya karena gaya-gayaan yang keliru.
“Kalau niatnya bukan bisnis atau provokasi, tapi cuma gaya tanpa pikir panjang, ya hukumannya harus proporsional. Bisa lewat permintaan maaf terbuka, larangan ikut event, atau edukasi publik. Itu juga hukuman, dan jauh lebih mendidik,” jelasnya.
Pemimpin Bukan Algojo, Tapi Bapak Bijak
Awang juga mengapresiasi cara Farhan dan Erwin merespons dengan kepala dingin, tanpa amarah berlebihan.
“Saya melihat mereka hadir bukan sebagai algojo, tapi sebagai bapak yang menegur anaknya yang salah. Tegas tapi tetap mendidik, itu pemimpin yang utuh,” ujarnya.
Momentum Evaluasi Menyeluruh Event Publik
Insiden ini, menurut Awang, harus dijadikan momentum untuk evaluasi total terhadap penyelenggaraan event di Kota Bandung. Bukan hanya soal alkohol, tetapi juga aspek izin, kurasi konten, pengawasan di lapangan, hingga SOP pelaksanaan.
“Sudah waktunya Bandung punya guideline event publik yang lebih ketat dan sesuai karakter kota. Supaya Bandung tetap kreatif, tapi tetap menjaga nilai, norma, dan kenyamanan bersama,” tutupnya. (*)