BANDUNG (LJ),- Kebijakan di bidang kesehatan yang diserahkan ke daerah di era Otda ternyata menyisakan sejumlah masalah diantaranya bagi puskesmas dalam memberikan layanan kepada masyarakat. Pelayanan kepada masyarakat tidak maksimal karena terlambatnya proses pembayaran Jamkesmas dan Jampersal salah satunya karena proses verifikasi yang memakan waktu cukup lama.
Hal ini terungkat saat Komisi E DPRD Provinsi Jawa Barat melakukan peninjauan ke Puskesmas DTP (Dengan Tempat Perawatan) Ciranjang Kab. Cianjur.
Menurut pengakuan Kepala Puskesmas DTP Ciranjang, dr. Elfira Firdaus, M. Kes, puskesmas yang dipimpinnya saat ini dari segi fasilitas cukup memadai karena memiliki laboratorium cukup lengkap, klinik HIV/Aids, poli gigi serta PONED dan ruang rawat inap. Luas lahan puskesmas pun cukup luas yaitu sekitar 1 hektar, bahkan tahun lalu pernah dikunjungi Presiden SBY yang memberikan bantuan secara pribadi senilai 50 juta rupiah.
“Namun saat ini kami cukup terganggu karena tagihan Jampersal dan Jamkesmas lambat dibayarkan karena masih terhambat verifikasi data,” terang Elfira.
Sebagaimana yang terjadi di sejumlah puskesmas kab/kota, dari retribusi yang didapat puskesmas mendapat target untuk PAD, padahal sebagaimana yang juga disetujui Anggota Komisi E bahwa fungsi puskesmas yang utama adalah untuk memberikan layanan kepada masyarakat. Secara teori 60 persen uang tersebut memang harus kembali ke puskesmas tapi kenyataannya tidak selalu seperti itu, sehingga biaya operasional puskesmas menjadi terhambat.
Sementara itu, saat menyampaikan maksud kunjungan Anggota Komisi E Syarief Bastaman mengemukakan dengan kunjungan ke puskesmas-puskesmas di Jawa Barat, selain untuk sosialisasi Perda JPKM, Komisi E juga ingin melihat apa yang menjadi hambatan dan kebutuhan operasional puskesmas.
Diakui bahwa pelaksanaan otonomi daerah menyisakan sejumlah persoalan diantaranya sebagaimana yang dikemukakan kepala puskesmas.
“Karena itu kami ingin mengetahui bagaimana kondisi fisik, apa saja yang dibutuhkan puskesmas agar kami bisa membantu sesuai dengan apa yang menjadi fungsi kami,” demikian dikatakan Syarief Bastaman.
Dikemukakan Elfira, selain membutuhkan ambulance, pihaknya membutuhkan mesin rontgent. Sebelumnya puskesmas pernah ditawarkan untuk mendapatkan bantuan alat rontgen dari pihak ketiga, namun bantuan tersebut tidak jadi diberikan karena pihak ketiga hanya membantu mesin rontgennya saja, sementara sarana fisiknya harus disiapkan puskesmas sendiri dan puskesmas tidak sanggup untuk menyediakan sarana fisik tersebut.
Lebih lanjut Elfira mengatakan, puskesmas seharusnya 70 persen menjalankan fungsi preventif, 30 persennya menjalankan fungsi kuratif. Namun pada kenyataannya sebaliknya, 70 persen yang dilakukan adalah kuratif atau pengobatan bukan pencegahan.
Komisi E dalam kunjungan tersebut juga memahami bahwa masalah pelayanan kesehatan dan sebagaimana juga pendidikan seharusnya disentralisasi dan tidak diserahkan kepada daerah, ini agar tidak ada rantai yang terputus antara pusat, provinsi dan kabupaten sehingga mengganggu dan menghambat pelayan kepada masyarakat. (Ihsan)