BANDUNG (Lintasjabar.com),- Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bandung, Rabu (27/04) menyetujui rancangan peraturan daerah (Raperda) Kota Bandung tentang penataan dan pembinaan pedagang kaki lima (PKL) untuk ditetapkan menjadi peraturan daerah (Perda). Selain Perda PKL yang merupakan usul prakarsa Dewan, DPRD juga menyetujui empat Raperda lainnya ditatpkan menjadi Perda, yaitu Raperda Pengelolaan Sumber Daya Air, Raperda Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengeloalaan Lingkungan Hidup, Raperda Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Raperda Ketentuan Pelayanan Pemakaman Umum dan Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengtabuan Mayat.
Disetujuinya Raperda PKL, kata Dada, merupakan penegasan komitmen perlindungan hak PKL dengan tetap mempertimbangkan kepentingan yang lebih luas, demokratis dan berkeadilan. Raperda ini menyebutkan, adanya pembagian zona lokasi PKL yang meliputi zona merah (lokasi tidak boleh ada PKL), zona kuning (lokasi yang bisa tutup buka berdasarkan waktu dan tempat) dan zona hijau (lokasi yang diperbolehkan bagi PKL). “Pembagian zona memungkinkan adanya suatu perencanaan tata ruang yang memberikan tempat pada PKL untuk berjualan tanpa mengganggu kenyamanan warga lainnya,” ujarnya.
Penempatan PKL di zona hijau imbuhnya, didasarkan pada hasil relokasi, revitalisasi pasar, konsep belanja tematik, konsep festival dan konsep pujasera. Selain itu PKL yang berjualan diatas Pukul 16.00 tidak menggunakan trotoar atau badan jalan. Penempatan PKL di Zona hijau, dimungkinkan pada lokasi kantor-kantor pemerintah yang sudah tidak digunakan, di depan Mall dan lapangan olah raga.
Secara filosofis, kata Dada, penataan dan pembinaan PKL adalah pemenuhan hak dasar warga di bidang sosial dan ekonomi. Diperlukan pertimbangan pemaknaan substansi dasar dari hak asasi. Namun dalam menjalankan hak dan kebebasannya, Dada menandaskan, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan Undang-Undang. Pembatasan untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, pemenuhan tuntutan keadilan sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
“Pengaturan zona adalah pengakuan hak dasar PKL. Disisi lain juga memberikan jaminan perlindungan kepada pejalan kaki, pengguna kendaraan, orang sedang berolah raga, orang sakit, anak sekolah dan pekerja merasa nyaman dan tidak terganggu PKL” tandas Dada.
Terkait adanya pengaturan PKL wajib memiliki izin berjualan dalam bentuk tanda poengenal yang ditetapkan wali kota, Dada menjelaskan, perzinan dimaksudkan sebagai alat mengendalikan PKL agar tetap bisa menjalankan usahanya pasca penataan dan pembinaan. Sedangkan terkait retribusi yang dikenakan pada PKL, didasarkan pertimbangan amanat Undang Undang Nomor 28/2009 khususnya Pasal 17 yang menyebutkan, dalam mempergunakan lokasi, setiap PKL dikenakan retribusi sesuai ketentuan yang berlaku.
“Retribusi yang dikenakan kepada PKL tidak ada yang baru, tetapi sesuai peraturan yang telah ada seperti retribusi kebersihan, retribusi pasar yang dikenakan kepada pedagang di pasar yang berlaku pula pada PKL baik ketentuan pusat ataupun daerah,” jelasnya.
Dada juga mengakui, Perda Kota Bandung Nomor 11/2005 tentang penyelenggaraan ketertiban, kebersihan dan keindahan, keberadaannya yang seharusnya mampu membuat keteraturan pemanfaatan ruang oleh aktivitas PKL, belum berjalan efektif. Penegakan Perda K3 dengan prinsip represifnya tidak memberikan solusi, hanya sampai pada upaya penertiban sementara. Untuk itu menurutnya perlu paradigma baru, menyelesaikan persoalan PKL menjadikannya bagian masyarakat yang harus ditata dan dibina menjadi sektor yang menguntungkan semua pihak.
Terkait empat raperda usulan eksekutif, khususnya tentang pengelolaan sumber daya air yang sebelumnya diatur Perda Nomor 06/2002 dan retribusinya diatur Perda 07/2002, setidaknya menyempurnakan pengaturan atas prasarana dan sarana irigasi yang kini berfungsi sebagai penunjang pengairan lahan pertanian, sarana penggelontoran dan drainase.
Raperda penyelenggaraan, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dikatakannya lebih menegaskan konsep dan sistematika penataan lingkungan untuk menjamin terlaksananya pembangunan yang berkelanjutan, disertai pengawasan instrumen perizinan.
Halnya Raperda pengelolaan RTH, menurutnya tidak terlepas dari komitmen legislatif dan eksekutif meningkatkan kualitas dan kuantitas RTH di Kota Bandung, menjamin ketersediaan paru-paru kota serta ruang publik yang bisa dimanfaatkan sebagai tempat melakukan interaksi sosial. “Raperda ini perencanaan dan pemanfaatan ruang secara terintegrasi agar berfungsi sebagai penghasil oksigen, penyangga berlangsungnya ekjosistem, tempat rekreasi, pengaman lingkungan terhadap pencemaran, penelitian, pendidikan, perlindungtan plasma nutfah dan perbaikan iklim mikro,” tuturnya.
Terhadap Raperda pelayanan pemakanan umum dan retribusi pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat, raperda ini dikatakannya sebagai penyempurnaan atas perda yang sama sebelumnya. Penyempurnaan ditegaskannya sebagtai uopaya sinkronisasi dengan UU Nomor 28/2009 tentang pajak dan retribusi daerah sekaligus menguatkan fungsi lahan pemakaman bagian dari RTH. (Herdi)