Sikapi Persoalan UMK, Kadisnakertrans Jabar Meminta Kearifan Semua Pihak

[lintasjabar] Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat Muhammad Ade Afriandi, MT mempersilahkan pihak yang tak setuju dengan Surat Keputusan Gubernur Jabar terkait UMK 2020 untuk melakukan langkah hukum. Namun jika mendukung dengan SK No. 561/Kep.983-Yanbangsos/2019 tentang UMK tersebut, pihaknya mengajak semua pihak untuk merumuskan mekanisme yang belum diatur.

“Jika terus berdebat tidak akan selesai sampai sore. Jika memang tak puas dengan SK Gubernur terkait UMK ini, khususnya diktum 7 (d) yang banyak dipersoalkan, silahkan tempuh jalur hukum. Namun jika kita mendukung keputusan gubernur mari kita bicarakan mekanisme yang harus diatur selanjutnya dibicarakan di sini,” kata Ade Afriandi saat menggelar pertemuan dengan serikat buruh/pekerja, dewan pengupahan kabupaten/kota, LKS Tripartir, dan Apindo di Gedung Disnakertrans Jabar Bandung, Jumat (6/12/2019).

Ade mengatakan, Disnakertrans telah menyiapkan draft mekanisme untuk penangguhan upah tersebut. Ade juga mengingatkan semakin mendesaknya waktu sehingga perlu dilakukan langkah dan antisipasi yang cepat untuk mengatasi persoalan ini.

[xyz-ips snippet=”bacajuga”]

Ia meminta kearifan semua pihak untuk menyikapi persoalan UMK ini. Jika pun harus dilakukan langkah hukum, katanya, hal tersebut memerlukan waktu yang lebih panjang lagi. Sementara, katanya, waktu realisasi dari SK Gubernur ini sudah semakin mendesak.

Pasca ditetapkan SK Gubernur terkait UMK, banyak kalangan buruh mempersoalkan diktum 7 (d), yang menyebutkan dalam hal pengusaha tidak mampu membayar UMK, dapat mengajukan penangguhan UMK kepada Gubernur Jabar melalui Dinas Tenaga Kerja Provinsi paling lambat Desember 2019.

Pada hurup (d) disebutkan bahwa dalam hal pengusaha termasuk industri padat karya tidak mampu membayar UMK pengusaha dapat melakukan perundingan bipartit bersama pekerja/buruh atau serikat pekerja di tingkat perusahaan dalam menentukan besaran upah, dengan persetujuan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat.

Salah seorang buruh yang hadir pada acara tersebut, Ajay, kepada wartawan mengatakan perundingan bipartit itu dinilai tak menguntungkan buruh karena memberi ruang kepada pengusaha untuk membayar upah rendah.

“Jika memang dilakukan perundingan bipartit, lalu patokan upahnya dari mana? Apakah dari UMK 2020, atau UMK tahun sebelumnya? Atau bagaimana jika patokannya dari UMP?” kata Ajay.

Oleh sebab itu, katanya, pihaknya secara tegas menolak diktum terkait upah padat karya ini. Ia tetap meminta Gubernur mencabut pasal yang dinilai merugikan buruh atau pekerja itu. (*)

Tinggalkan Balasan