Terorisme tak Bisa Dikaitkan Dengan Agama Karena Agama Mengutuk Radikalisme Terorisme

BANDUNG, LJ – Faktor penyebab terorisme yakni kondisi sosio politis-historis (nasional dan trans nasional); serta pula ketidakadilan yang terjadi di berbagai belahan dunia baik secara sosial, politik, ekonomi, maupun budaya; ideologi dan teologi (kelompok Islam Radikal: Takfiri dan Jihad Radikal); kompleksitas sosial; rendahnya pendidikan, kemiskinan, budaya, dan kehidupan sosial.

Bahkan ditambah peristiwa teror yang terjadi belakangan kemudian seolah-olah menjadi pembenaran bahwa tingginya potensi radikal terorisme di Jabar tidak dibarengi dengan kebijakan program pencegahan secara optimal oleh Pemprov Jabar.

“Seperti jelang Tahun Baru 2017, teror bom di Padang; bom panci, di Kelurahan Arjuna, Bandung, 27 Februari, penangkapan terduga teroris 13 Maret masih di Bandung serta penyergapan terduga berencana melakukan serangan terorisme di Tangerang dengan korban tiga tewas pada Kamis 16 Maret,” papar Sekretaris Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT)/Satgas  Pencegahan Terorisme Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Provinsi Jawa Barat, yang membidangi Pemberdayaan Masyarakat dan Riset, Dr. Phil. Gustiana Isya Marjani pada acara diskusi dwimingguan yang diinisiasi Eksplorasi Dinamika dan Analisis Sosial (EDAS), di Bale M Café Arcamanik Bandung, Minggu (20/5/2018).

Ditambahkannya, keterbelakangan pendidikan, perubahan politik, kemiskinan atau rendahnya peradaban budaya dan sosial seseorang akan memicu radikalisme yang berujung pada kekerasan, ekstrimisme, dan terorisme.

Diakuinya hal tersebut berdasarkan Hasil Riset “Implementasi Kebijakan Pencegahan Radikal Terorisme di Provinsi Jawa Barat: 2012-2016”, yang dilakukan Ayi Sofyan dan Gustiana Isya Marjani, mengindikasikan tingginya potensi radikal terorisme di Jawa Barat tidak dibarengi dengan kebijakan program pencegahan secara optimal oleh pemerintah provinsi dan pemda setempat.

Adapun strategi pencegahan terorisme yang dilakukan BNPT, sambungnya yaitu kontra radikalisasi dan deradikalilasi. Diperlukan panduan dan acuan operasional dalam rangka implementasi kebijakan dan strategi pencegahan terorisme  yang melibatkan kementerian dan lembaga terkait; masyarakat, termasuk ormas, ormas keagamaan, akademisi, dan media massa.

Namun demikian dirinya menegaskan, terorisme tidak bisa dikaitkan dengan agama tertentu, karena semua agama mengutuk radikalisme terorisme.

“Radikalisme atas nama agama merupakan imbas dari pendangkalan pemahaman agama. Radikalisme terorisme adalah musuh kemanusiaan. Oleh karena itu, menjadi agenda global untuk memberantasnya. Radikalisme terorisme merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas sehingga mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional,” paparnya.

Sedang diskusi dwimingguan kali ini yang mengangkat tema “Teroris Manifestasi Radikalisme?” dihadiri puluhan peserta yang mayoritas datang dari kalangan kampus.

Pada kesempatan itu, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Aceng HM Fikri mendorong DPR RI untuk segera menetapkan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme).

Menurut Aceng, UU Antiterorisme itu kini sudah pada tahap finalisasi antara eksekutif dan legislatif. Namun ia menekankan agar revisi UU Anti-Terorisme harus dapat didefinisikan dengan jelas.

“Jika gegabah dan tidak mendetail filosofinya, terkadang pada saat pengimplementasiannya juga akan salah. Dengan demikian diperlukan pendefinisan yang jelas, disepakati oleh semua dan publik tau,” terangnya.

Ia pun berharap nantinya jika UU terorisme tersebut telah disahkan tidak muncul konflik baru akibat dari munculnya multitafsir lagi dari UU itu bagi pihak-pihak tertentu.

Menanggapi diskusi yang digagas EDAS, Juliyana mahasiswa semester VI Ilmu pemerintahan Universitas Ahmad Yani (Unjani), menyatakan hal ini sangat berdampak positif terlebih bagi mahasiswa untuk kepentingan akademis. Begitu pula, lanjutnya, narasi yang dibangun para narasumber bersifat objektif dan sangat ilmiah.

“Ini sangat penting bagi kami menjadi bahan pembelajaran ketika kembali lagi ke kampus. Sebab teori yang kami pelajari di kampus dikonversi dari yang didapat dari dikusi ini,” ungkapnya.

Yuliana pun merasa memiliki PR serta tanggungjawab moral untuk bisa kembali menyampaikan gagasan-gagasan serta ide dari hasil diskusi kepada masyarakat. (San)

Tinggalkan Balasan