Hakikat “The Postman”
Pernahkah kita merenungkan makna film “ The Postman” yang dibintangi Kevin Costner? Kita layak merenungkannya karena itulah awal mula perjuangan dunia pos pertama kali dijalankan. Satu film yang sarat mimpi dan motivasi. Mimpi untuk membangun komunikasi dan jaringan dari satu tempat yang berada di luar jangkauan seorang manusia biasa. Namun berkat motivasi kuat untuk berkomunikasi itulah, lahir jiwa heroik yang menjadi panutan(patern) dan teladan(trendsetter) bagi Costner- Costner kecil yang tanpa diduga bermunculan di berbagai negara bagian Amerika Serikat yang saat itu sedang dijajah pendatang Inggris dan dilanda perang saudara. Meski negeri tidak aman, tetapi Costner tetap memacu kudanya di bawah serbuan peluru dan siksaan perompak yang hampir merengut nyawanya. Buah ketekunan dan motivasi seperti itulah yang menjadikan Pos lahir sebagai kekuatan komunikasi di dunia.
Bagaimana Pos Indonesia? Meski tidak ada kisah heroik kisah The Postman, tetapi Pos Indonesia tetap memiliki peran penting di Indonesia. Meski berupa peninggalan kolonialisme Belanda, tetapi makna Pos Indonesia sebagai kekuatan komunikasi, telah menjadi kekuatan kelima perjuangan bangsa Indonesia yang terbentang wilayahnya dari Sabang hingga Merauke. Keluasan wilayah itu adalah modal besar bagi Pos Indonesia di era kemerdekaan yang penuh dengan kecamuk dan bencana moral hingga alam.
Pos di Era Kemerdekaan
Bung Karno pernah berpidato, kemerdekaan adalah jembatan emas.Di seberangnya jalan terpecah dua.Satu menuju kesejahteraan bersama prinsip sama rasa sama rata. Satu lagi menuju bencana nasional yang disebut dengan istilah sama ratap sama tangis.Ke arah mana kita menuju, tergantung pada tekad dan niat kita semua sebagai warga bangsa yang merdeka, di bawah pimpinan negarawan yang peduli pada rakyat. Demikian ucapan penting proklamator kita yang disitir Sacipto Rahardjo dalam sebuah tulisannya di media massa.
Pada beberapa kesempatan lain, Sacipto juga mengatakan, tanah air kita terpuruk terus-menerus seperti sekarang antara lain keserakahan para elite di puncak kekuasaan. Dalam buku yang menggemparkan, The Roaring Nineties (2003), pemenang Nobel dalam bidang ekonomi, Joseph E. Stiglitz mengecam mantra pasar bebas dan menolak pendapat ”Greed is good”. Kutipan di awal tulisan ini secara tajam menohok bahwa bila keserakahan dibiarkan tanpa kendali, akan mengarah ke penipuan atau kepalsuan, penyimpangan, dan bencana atau kehancuran. Sangat ironis. Semua itu karena nafsu serakah orang-orang yang notabene sudah sangat mapan. Saya jadi teringat kembali puisi mbeling karya Gojek Joko Santoso yang berjudul ”Ramalan Cuaca”: Singapura gerimis/ Malaysia hujan deras/ Filipina gempa bumi/ Saudi Arabia hawa panas/ Alaska hawa dingin/ Indonesia hawa nafsu.
Kendati bernuansa menyindir dan main-main, tetapi makna puisi tersebut sangat dalam. Sesudah merdeka selama 66 tahun, hawa nafsu sebagian para pemimpin untuk meraih kekuasaan dan meraup kekayaan ternyata tidak surut, bahkan cenderung menyebar bak virus ganas ke daerah-daerah. Sampai saat ini, sesudah reformasi berjalan satu dekade, pertarungan antara the greedy (kaum serakah) melawan the needy (kaum kesrakat) masih saja terasa. Kita semua melihat merebaknya mall, supermall, department store, shopping centre, plaza yang supermewah di berbagai pelosok kota, menggulung pasar tradisional, warung, dan pedagang kaki lima.
Hal lain, pengaruh negatif dari globalisasi yang melanda, menipiskan rasa nasionalisme, melunturkan jati diri, meluluhlantakkan kebudayaan dan kearifan lokal. Itu mesti ditangkal dengan gerakan ”glokalisasi”. Kita semua mesti berusaha untuk ikut berkiprah dalam kancah global, tetapi dengan mengangkat dan mengembangkan keunikan lokal.
Semua pihak mesti berupaya menggairahkan kembali semangat kebangsaan yang masih menyala di hati rakyat agar berkobar. Para tokoh pemimpin di puncak kekuasaan seyogianya meresapi kembali hakikat kemerdekaan yang menumbuhkan rasa percaya diri dan harga diri sebagai bangsa berdaulat, bermartabat, berbudaya, sejajar dengan negara lain.
Tidak sekadar dengan slogan,omong kosong, bicara besar, tetapi dengan tindakan nyata yang didasari visi yang jelas dan terarah. Pemikir dari negara Barat mengatakan bahwa vision without action is a daydream, but action without vision is nightmare. Belajar dari China visinya jelas,yaitu ”hardware”,memproduks i berbagai macam komoditas rakyat yang dibutuhkan dengan harga lebih murah dan dengan proses lebih cepat.
Negara kita konon negara agraris, tetapi kenapa petaninya miskin-miskin? Kenapa beras, kedelai, gula, pakan ikan, makanan ternak, dan bahkan garam saja impor? Negara kita konon negara maritim, negara kepulauan, tetapi kenapa para nelayan selalu saja masuk kelompok kaum papa,miskin, sengsara, terpinggirkan? Prof Dr Mubyarto (alm) dari Universitas Gadjah Mada pernah mencanangkan pembangunan ekonomi Indonesia berbasis kerakyatan yang disebutnya dengan istilah ”Ekonomi Pancasila”. Jiwa ”Pancasila” semacam itu sudah saatnya dihidupkan kembali dengan penuh kesungguhan dalam segala bidang. Rakyat masih tampak amat bergairah memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, itu merupakan modal sosial yang baik sekali.
Pada situasi itulah Pos Indonesia harus berperan sebagai panutan(patern) dan teladan(trendsetter) dalam jaringan komunikasi nasional. Adanya Dirjen Pos dan Telekomunikasi adalah tenaga tambahan dalam kapasitas birokrat agar lebih mengoptimalkan Pos Indonesia sebagai bagian jembatan emas kemerdekaan bangsa Indonesia.
Tujuh Peran Pos Indonesia di Masa Depan
Satu hal yang kini mendesak perlu diperkuat untuk memberi peran Pos Indonesia lebih nasionalis adalah persoalan pelayanan(customer service) dan brand image. Di era kemerdekaan yang sudah sarat dengan keserakahan, hilangnya jiwa kepemimpinan ideal, dan melunturnya nasionalisme, peran yang harus dilakukan adalah menjadikan Pos Indonesia sebagai:
- Pintu terdepan bangsa dalam jaringan komunikasi nasional dan dunia luar
- Pintu terdepan layanan dunia pos di wilayah-wilayah perbatasan
- Wajah terdepan NKRI di daerah perbatasan
- Lembaga pemerintah yang paling terdepan merangkul masyarakat perbatasan
- Wadah pertama perputaran ekonomi masayarat desa perbatasan dengan perkotaan
- Wadah utama generasi muda memperkuat nasionalisme dengan layanan pos dan karya kreatif berupa karya tulis maupun gagasan aktual.
- Menjadi patern dan trendsetter fungsi pelayanan publik
Ketujuh peran itu sangat layak dan bisa dilakukan oleh Pos Indonesia karena keberadaannya sebagai salah satu BUMN di Indonesia. Seluruh peran itu relavan juga mengingat berbagai peristiwa dan kondisi di perbatasan wilayah NKRI dengan negara tetangga tidak cukup hanya dijaga oleh tentara, polisi, atau kementerian Hankam, tetapi peran Pos Indonesia adalah lembaga sipil yang turut ”menegakan Indonesia” diperbatasan.
Peran Pos Indonesia sebagai BUMN memungkinkan menjadi patern dan trendsetter karena ini menjadi starting point positif yang akan menjadi citra terdepan pemerintah dalam masalah pelayanan publik, baik yang di perkotaan maupun di pedesaan. Namun, akan lebih menantang jika peran ini dilaksanakan juga dengan jalan memperbanyak kantor pos di wilayah perbatasan sebagai pembangun nasionalisme dan penanda NKRI hadir diperbatasan.
Persoalan lunturnya nasionalisme juga harus tetap ditegakkan di kalangan generasi muda. Salah satu jalannya pelatihan dan lokakarya harus dilakukan di wilayah perbatasan kepada generasi mudanya, baik dalam bentuk karya tulis yang diwadahi majalah Pos Indonesia ”Sahabat Pena” atau mendatangkan para tokoh dan penulis yang memberi motivasi kreatif dan nasionalisme generasi muda di wilayah perbatasan NKRI.
Semoga Pos Indonesia makin berjaya, menjaga tradisi dan motivasi ”The Postman”, menjaga nasionalisme NKRI, Menjaga wajah pelayanan publik pemerintah Indonesia, menjaga wilayah perbatasan NKRI karena kantor pos dan ”Kevin Costner”-nya ada di sana mengibarkan sangsaka, bendera merah putih! Pos Indonesia, Pos Merah Putih!
Penulis: Erwan Juhara, Aktivis Yayasan Jendela Seni Bandung dan Ketua Asosiasi Guru/Dosen/Tenaga kependidikan Penulis/Pengarang(AGUPENA) Jabar.