TASIKMALAYA, LJ – Pancasila merupakan gabungan pemikiran garis kaum intelektual yang melahirkan kebangsaan dan padanya ada satu alur pemikiran yang melahirkan keislaman.
Pancasila yang telah menjadi falsafah bangsa dan sumber bagi nilai-nilai yang terkandung di dalam konstitusi, sejatinya merupakan ijtihad dari para tokoh muslim ketika perjuangan kemerdekaan.
Demikian disampaikan anggota MPR RI, M. Hoerudin Amin pada saat Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan di Aula Gedung Dakwah Islamiyah (GDI)Kp. Karangsari II RT 003 RW 008 Desa Hegarwangi Kecamatan Bantarkalong Kabupaten Tasikmalaya, Selasa 15 November 2022.
Acara sosialisasi yang digelar Yayasan Putra Unggul tersebut dihadiri tokoh masyarakat, tokoh pemuda dari berbagai kalangan baik MUI, ormas, organisasi nelayan dan undangan lainnya.
Menurut Hoerudin yang juga anggota Komisi IV DPR RI ini, bahkan banyak tokoh dan cendikiawan yang menyatakan Pancasila merupakan hadiah terbesar dari umat Islam dan tokoh Islam bagi Republik ini.
“Kita tentu masih ingat akan sejarah pembentukan Pancasila, yang semula bernama Piagam Jakarta. Ketika itu pada sila pertama berbunyi, Ketuhanan yang maha esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” ujar legislator Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) dari Dapil Jabar XI meliputi Kabupaten Garut, Kota dan Kabupaten Tasikmalaya.
Rumusan sila pertama Pancasila tersebut, sambung Hoerudin, pada akhirnya menghilangkan tujuh kata, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Hal tersebut dilakukan demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, serta menghargai dan menghormati warga negara Indonesia lainnya dari kelompok yang beragama non-muslim.
“Jiwa besar umat Islam inilah yang dinilai banyak kalangan, memiliki nilai kebangsaan yang sangat tinggi. Bahkan, perumusan nilai Pancasila yang menjadi dasar-dasar norma konstitusi tersebut, oleh para cendikiawan muslim, memiliki kemiripan dengan Perjanjian Hudaibiyah di masa Nabi Muhammad SAW,” urainya.
Dijelaskannya, perjanjian Hudaibiyah dibuat pada 628 Masehi bermula ketika kaum muslimin yang tinggal di Madinah, ingin menunaikan ibadah haji di Baitullah Makkah. Kaum Quraisy Mekah saat itu belum menganut agama Islam, sehingga mereka beranggapan bahwa kedatangan umat muslim dari Madinah ke kota Mekah, bertujuan untuk melakukan penyerangan terhadap kaum Quraisy.
Pertemuan kaum muslim dari Madinah dan kaum Quraisy di Mekah inilah yang akhirnya berujung kepada dibuatnya perjanjian Hudaibiyah tersebut. Kaum muslim dari Madinah yang diwakili oleh Nabi Muhammad SAW dan kaum Quraisy di Mekah yang diwakili oleh Suhail bin Amr, melakukan perundingan yang sangat alot.
“Kita berkaca pada sejarah, Nabi Muhammad SAW di dalam melakukan perundingan itu sangatlah lembut dan bijaksana. Bahkan kelembutan Nabi Muhammad SAW oleh beberapa sahabat, dinilai terlalu longgar dan mengalah. Padahal ketika itu, dengan jumlah kaum muslimin yang begitu banyak dan pasukan perang yang terlatih, tentu tidaklah sulit bagi umat muslim Madinah untuk menundukkan kaum Quraisy dalam waktu yang singkat dengan cara kekerasan,” paparnya.
Namun, masih dijelaskannya, Nabi Muhammad SAW., lebih memilih bersikap lembut, bersabar dan mengalah di dalam melakukan perundingan. Ketika perjanjian hendak dimulai dengan kalimat, “Bismillahirrahmanirrahim” (dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang), kalimat ini tidak disetujui oleh Suhail dengan alasan bahwa, nama “rahman dan rahim” bukanlah nama yang dikenal oleh kaumnya dari bangsa Quraisy, sehingga kalimat tersebut berubah menjadi, “bismikallahumma” (dengan nama-Mu ya Allah).
Begitu pula ketika perjanjian hendak disetujui oleh keduanya, Suhail menolak kalimat “Muhammad Rasulullah” karena kaum Quraisy saat itu tidak mengakui bahwa Muhammad adalah Rasulullah, sehingga kalimatnya diubah menjadi “Muhammad bin Abdullah”.
“Kelembutan sikap dan kesabaran Nabi Muhammad SAW., ini pada akhirnya membawa hikmah yang sangat besar. Salah satu hikmah besar tersebut adalah, dakwah Islam ke seluruh pelosok negara Arab menjadi mudah menyebar,” terangnya.
Berbeda jika saat itu penggunaan dilakukan dengan kekuatan dan kekerasan saat dilakukannya perundingan, tentu akan berakibat buruk pada syiar dan penyebaran agama Islam.
Diungkapkan Hoerudin, ada kesamaan antara perundingan saat perjanjian Hudaibiyah dengan perundingan Pancasila yang dilakukan oleh para tokoh muslim saat dulu.
“Meski jumlah umat Islam adalah mayoritas, namun karena semangat persatuan dan kebangsaan, maka umat muslim tidak segan untuk mengalah demi terwujudnya rasa kebersamaan sebagai sesama anak bangsa,” tegasnya.
Begitu pula jika Pancasila ditinjau dari sudut atau pandangan agama Islam, maka sesungguhnya nilai-nilai yang terkandung di dalam setiap sila-sila Pancasila tersebut sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam ajaran agama Islam.
Seperti halnya Sila Pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sejalan dengan ajaran Tauhid sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al-Qur’an Surat Al-Ikhlas. Sedang Sila Kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, sejalan dengan firman Allah SWT di dalam Al-Qur’an Surat An Nisa ayat 135.
Begitu pula Sila Ketiga, “Persatuan Indonesia”, sejalan dengan firman Allah SWT di dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 13. Sila Keempat, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”, sejalan pula dengan firman Allah SWT di dalam Al-Qur’an Surat Asy Syuro ayat 38.
Dan terakhir Sila kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, sangat sejalan dengan firman Allah SWT di dalam Al-Qur’an Surat An Nahl ayat 90 yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah menyuruhmu berlaku adil dan berbuat kebajikan”.
Sementara itu, Tokoh Tasik Selatan H. Cecep Abdulah yang hadir sebagai narasumber mengatakan Pancasila butuh penjelasan agar masyarakat memahami dan menganggap penting tentang Pancasila. Sebab dirinya menganggap selama ini nyaris tak begitu terdengar dialog di masyarakat yang membahas tentang Pancasila.
Sedang pembicara lainnya yang juga merupakan tokoh masyarakat, Aang Munawar SH. menyampaikan pesan butuhnya menyusuri sejarah Pancasila. Dengan demikian diharapkan jangan sampai seolah-olah Islam dan Pancasila ada pertentangan.