Opini  

Hejo tapi Teu Ngejo

Oleh: Daddy Rohanady*

PROVINSI Jawa Barat memilik Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Jasa Lingkungan Hidup. Perda tersebut didasari Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

UU Nomor 42 Tahun 2009 memang secara eksplisit mewajibkan daerah untuk mengembangkan isnstrumen ekonomi leingkungan hidup. Oleh karena itu, sebagai tindak lanjutnya, Pemprov Jabar mengembangkan mekanisme jasa lingkungan hidup sebagai bagian dari instrumen ekonomi lingkungan hidup.

Perda Jabar Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Jasa Lingkungan Hidup memiliki 9 azas: menfaat dan lestari; keadilan; kebersamaan; transparan, partisipasi, dan akuntabel; keberlanjutan; berbasis kearifan lokal; keseimbangan; pemberdayaan masyarakat.

Setidaknya ada empat tujuan dilahirkannya Perda Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Jasa Lingkungan Hidup.

Pertama, mewujudkan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang berwawasan lingkungan melalui pemanfaatan potensi jasa lingkungan hidup secara berkelanjutan dengan tetap memperhatikan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya.

Kedua, meningkatkan kepedulian para pihak terhadap upaya menjaga, memelihara, dan memanfaatkan jasa lingkungan hidup sebagai output kinerja ekologis sumber daya alam dan lingkungan hidup yang dikelola secara berkelanjutan.

Ketiga, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, kualitas sumber daya alam dan lingkungan hidup secara seimbang dan berkelanjutan dengan mengembangkan kearifan lokal.

Kempat, memberikan kepastian hukum dalam ketersediaan pembayaran jasa lingkungan hidup untuk perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Perda Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Jasa Lingkungan Hidup terdiri dari XV Bab dan 52 pasal. Perda tersebut ditandatangani pada tanggal 15 Juli 2015 oleh Gubernur Ahmad Heryawan.

Jika melihat keempat tujuan lahirnya Perda Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Jasa Lingkungan Hidup, semestinya Jawa Barat sudah menjadi provinsi termaju. Semestinya Jawa Barat tidak lagi memiliki kabupaten/kota yang sebagian masyarakatnya dikategorikan miskin ekstrem (menurut Sekretariat Negara).

Semestinya masing-masing kabupaten/kota yang ada diberi otoritas penuh untuk memanfaatkan secara positif setiap sumber daya alam dan lingkungan hidup yang ada di wilayahnya. Jangan sampai yang terjadi justru sebaliknya. Mereka memiliki wilayah yang kaya sumber daya alamnya, tetapi tidak bisa mengoptimalkan karena terhalang regulasi.

Regulasi boleh-boleh saja banyak dilahirkan. Akan tetapi, semestinya semua itu ditujukan hanya untuk dan demi kesejahteraan masyarakat semata. Jika benar terjadi, itu merupakan suatu paradoks. Bahkan, sampai ada satu kabupaten yang menggunakan peribahasa “wilayahna hejo tapi teu bisa ngejo” yang artinya wilayahnya subur tapi tak mampu memasak (nasi).

Tanggapan seperti itu juga pasti merupakan respons atas berbagai regulasi yang ada. Mereka merasa wilayahnya memiliki sumber daya alam yang kaya. Namun, berbagai regulasi yang ada “mengekang” mereka untuk memanfaatkannya. Hasilnya tentu saja sebuah paradoks.

Jika kondisi tersebut terus dibiarkan, berarti kita memang “mendorong” masyarakat di wilayah itu untuk menjadi miskin. Oleh karena itu dibutuhkan regulasi yang benar-benar komprehensif. Misalnya, daerah seperti itu mendapat kompempensasi yang tetap akan membuat masyarakatnya sejahtera.

Jangan sampai regulasi hanya untuk mengatur masyarakat tanpa memberi ruang pertumbuhan mereka ke arah yang lebih sejahtera. Oleh karena itu, dibutuhkan goodwill dari semua level pemerintahan (pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota) agar setiap kebijakan yang dilahirkan benar-benar berpihak kepada masyarakat.

*Penulis: Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat