Oleh: Daddy Rohanady*
Rata-rata Lama Sekolah (RLS) didefinisikan jumlah belajar penduduk berusia 15 tahun ke atas yang telah menyelesaikan pendidikan formal. Namun, tahun yang mengulang tidak termasuk di dalamnya. RLS merupakan salah satu unsur yang diperhitungkan dalam Indeks Pebangunan Manusia (IPM).
IPM merupakan ukuran capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup sebuah negara. Pendekatan yang dijadikan tolok ukurnya adalah tiga dimensi dasar yang mencakup umur panjang dan sehat (kesehatan), pengetahuan (pendidikan), dan kehidupan layak (laju pertumbuhan ekonomi/LPE).
IPM digunakan sebagai indikator untuk menilai aspek kualitas dari pembangunan dan untuk mengklasifikasi apakah sebuah negara dikategorikan maju, berkembang, atau terbelakang, selain juga untuk mengukur pengaruh kebijakan ekonomi terhadap kualitas hidup.
IPM dan RLS tentu tidak bisa dipisahkan dari urusan sekolah. Stigma yang terbangun di masyarakat selama ini: anak harus masuk sekolah negeri. Hal itu bukan tanpa alasan. Faktor yang paling utama tentu saja terkait masalah biaya. Kita harus akui bahwa pilihan tersebut berkaitan erat dengan kondisi perekonomian sebagian besar masyarakat.
Di sisi lain, jumlah sekolah negeri, khususnya di tingkat SMA/SMK masih terbatas. Hal itu diperparah lagi dengan salah satu kebijakan pendidikan kita, yakni penerimaan murid dikaitkan dengan zonasi. Bagi orang mampu tampaknya zonasi tidak menjadi masalah. Mereka bisa memilih sekolah kualitas bagus meskipun biayanya relatif mahal. Lantas bagi mereka dari keluarga yang kurang mampu?
Zonasi membatasi banyak hal. Salah satu dampaknya, cukup banyak anak lulusan SMP suatu kecamatan tidak bisa masuk ke SMA di wilayahnya. Contoh riilnya, banyak murid lulusan SMP Kecamatan Talun Kabupaten Cirebon yang masuk SMA di Kabupaten Kuningan. Meskipun kedua kabupaten itu berada di Provinsi Jawa Barat, ironis rasanya jika hal seperti itu terus dibiarkan. Ini salah satu dampak pemberlakuan zonasi.
Jumlah lulusan SMP yang diterima di tingkat SMA/SMK pasti berkaitan dengan rata-rata lama sekolah (RLS). Kian sedikit jumlah lulusan SMP yang diterima atau melanjutkan ke SMA pasti akan mempengaruhi angka RLS. Kian rendah RLS, berarti kian rendah pula rata-rata pendidikan masyarakat. Kita semua tahu, pada akhirnya hal itu akan berkaitan pula dengan banyak hal lain.
RLS merupakan salah satu unsur dalam menghitung Indeks Pendidikan. Jika RLS rendah, Indeks Pendidikan juga akan menjadi rendah. Karena Indeks Pendidikan merupakan salah satu unsur dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM), secara otomatis IPM pun akan menjadi lebih rendah pula.
Sebagai contoh, hingga akhir 2023, Kabupaten Cirebon memiliki IPM 70,95 dengan RLS 7,64 tahun. Raihan IPM seperti itu tentu tidak dapat dipisahkan dari jumlah sekolah (SMA/SMK) di Kabupaten Cirebon.
Dari total 40 kecamatan yang ada di Kabupaten Cirebon, masih 17 kecamatan yang belum memiliki SMA Negeri. Itu berarti baru 33 kecamatan yang memiliki SMA Negeri. Adapun kecamatan yang sudah memiliki SMK Negeri baru 8 kecamatan saja.
Kecamatan yang sudah memiliki SMAN dan SMKN hanya 4 kecamatan. Bahkan, dari total 40 kecamatan, ada 13 kecamatan yang sama sekali belum memiliki SMAN/SMKN.
Ini baru potret kecil di salah satu dari 27 kabupaten/kota di Jabar. Bagaimanapun ini merupakan pekerjaan rumah yang amat serius untuk para calon kepala daerah, baik gubernur maupun bupati/wali kota mendatang.
Bukankah kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh tingkat pendidikannya? Apakah Jabar sudah berpuas diri dengan kondisi seperti ini?
Sudah selayaknya ada intervensi khusus untuk daerah kabupaten/kota dengan raihan IPM yang masih rendah. Bagaimana mungkin IPM Jabar akan meningkat jika kabupaten/kota dengan IPM rendah terus dibiarkan tanpa kepedulian?
Bukankah pula pendidikan, kesehatan, dan laju pertumbuhan ekonomi yang merupakan unsur IPM menjadi kewajiban negara? Bukankah pula, suka tidak suka dan mau tidak mau, salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan adalah IPM?
*Penulis: Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat