
Oleh: Herdiana*
Peribahasa Sunda “biwir teu diwengku, letah teu tulangan” menyimpan pesan moral yang tajam: lidah tidak bertulang, ucapan bisa keluar tanpa kendali.
Dalam konteks politik, pepatah ini seperti kaca yang memantulkan wajah dinamika komunikasi di Senayan—saat demonstrasi berlangsung, suara-suara lantang kerap keluar tanpa saringan.
Lidah yang Lepas, Ucapan yang Menyulut
Demonstrasi adalah hak konstitusional. Namun sering kali, energi aksi di lapangan berubah menjadi pertunjukan ucapan reaktif:
Politisi merespons dengan komentar kontroversial,
Demonstran melontarkan tuntutan provokatif,
Aparat kadang bersuara defensif.
Belum lagi media yang memberitakan dengan tajuk sensasional. Framing yang tidak seimbang bisa memperkeruh suasana, seolah memperbesar api yang sebetulnya bisa dijinakkan dengan dialog.
Hikmah dari Kearifan Sunda
Orang Sunda memiliki warisan nilai yang bisa menjadi pegangan dalam ruang publik:
Someah (Santun) → menjaga tutur agar tidak melukai, meski berbeda pendapat.
Silih asah, silih asih, silih asuh → saling mengingatkan, mengasihi, dan membimbing.
Inilah etika komunikasi yang seharusnya hadir, baik di jalanan maupun di gedung parlemen.
Demokrasi Butuh Kata yang Beradab
Peribahasa tadi mengajarkan bahwa demokrasi bukan hanya soal bebas bersuara, tetapi juga tentang bagaimana suara itu disampaikan. Indonesia membutuhkan diskursus publik yang sehat:
Kritik berbasis fakta,
Debat yang beradab,
Ucapan yang membangun, bukan menjatuhkan.
Pemimpin politik harus berhitung sebelum berkomentar. Satu kalimat yang lepas bisa menggerakkan massa, bisa pula meruntuhkan kepercayaan.
Relevansi di Era Media Sosial
Di dunia digital, pepatah ini semakin terasa. Sekali ujaran dilempar ke jagat maya, ia bisa viral dalam hitungan detik. Sulit ditarik kembali, meski sudah disesali. Akibatnya, ruang publik berubah jadi echo chamber yang memperkuat polarisasi.
Menutup dengan Pesan Moral
Demonstrasi adalah bagian dari demokrasi. Namun jika ucapan tak terkendali, ia justru mengaburkan tujuan mulia perjuangan rakyat. Pepatah Sunda mengingatkan: kekuatan sejati bukan di kerasnya teriakan, melainkan pada kebijaksanaan memilih kata.
Mari kita jadikan komunikasi politik sebagai sarana merawat bangsa, bukan sekadar arena saling serang. Karena, seperti pepatah lain mengatakan: “Hiji kahayang, hiji gawean, hiji tujuan.” Satu kehendak, satu kerja, satu tujuan: Indonesia yang lebih beradab.
*Penulis: Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Penyiaran UIN Sunan Gunung Djati Bandung












