Opini  

Mazhab Keruntuhan: Empat Wabah yang Meruntuhkan Peradaban

Oleh: Herdiana*

Kita hidup di zaman yang sibuk membangun gedung tapi kehilangan arah membangun manusia. Teknologi berlari cepat, tapi akhlak berjalan tertatih. Kita bisa menghitung pertumbuhan ekonomi, tapi sulit mengukur kehilangan nurani. Di tengah hiruk-pikuk itu, doa Nabi ﷺ yang sederhana terasa seperti alarm spiritual bagi sebuah bangsa yang mulai lelah menjadi manusia:اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ… “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, dari ketakutan dan kekikiran…” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Empat kata sederhana — ‘ajz, kasal, jubn, dan bukhl — namun di dalamnya terkandung rumus kehancuran peradaban. Mereka bukan sekadar penyakit batin, tapi mazhab besar yang, jika dibiarkan tumbuh, akan melahirkan generasi lemah, birokrasi lamban, ekonomi culas, dan politik pengecut. Sebuah Mazhab Keruntuhan yang bekerja senyap tapi menghancurkan dari dalam.

Mazhab Ketidakmampuan: Ketika Semangat Mati Sebelum Tindakan

Ajz adalah kematian sebelum ajal. Ia membuat manusia kehilangan daya untuk memperbaiki diri. Bangsa yang dikuasai oleh ‘ajz mudah pasrah terhadap kebobrokan — menyebut korupsi sebagai “takdir” dan ketidakadilan sebagai “nasib.” Dari mazhab inilah lahir generasi yang menyerah sebelum mencoba, dan pemimpin yang kalah sebelum berjuang.

Ketika semangat mati sebelum tindakan, maka yang tersisa hanyalah masyarakat penonton — menyaksikan sejarah runtuh tanpa keberanian menulis ulang takdirnya.

Mazhab Kemalasan: Ketika Iman Menjadi Ritual Tanpa Amal

Kemalasan (kasal) adalah penyakit yang disamarkan oleh kenyamanan. Bangsa malas bukan berarti tidak bergerak, tapi bergerak tanpa arah. Kita bekerja keras tanpa sadar untuk apa, belajar tinggi tanpa tahu mau jadi siapa. Inilah mazhab kedua: kemalasan yang elegan — tertata secara administratif tapi miskin secara spiritual.

Dari kasal lahir politik yang lamban, pendidikan yang membosankan, dan birokrasi yang sibuk tanpa hasil. Bangsa yang malas berpikir akhirnya tunduk pada pencitraan. Ia tak lagi mencari kebenaran, cukup puas dengan yang tampak benar di layar kaca.

Mazhab Ketakutan: Ketika Kebenaran Tak Lagi Punya Suara

Ketakutan (jubn) adalah bentuk baru dari penjajahan batin. Ia membuat orang yang tahu kebenaran memilih diam, orang yang punya ilmu memilih netral, dan orang yang punya kuasa memilih aman. Dari sini lahir sistem yang stagnan: pejabat takut kehilangan jabatan, guru takut kehilangan murid, dan ulama takut kehilangan jamaah.

Ketika ketakutan menjadi norma, maka kejujuran menjadi barang mewah. Bangsa yang takut pada kebenaran akan digiring oleh kebohongan yang terorganisir, dan membiarkan sejarah ditulis oleh mereka yang pandai menipu.

Mazhab Kekikiran: Ketika Nafsu Mengalahkan Nurani

Imam Fakhruddin ar-Razi menafsirkan bukhl (kikir) sebagai “takut kehilangan apa yang sudah dimiliki.” Dari sinilah muncul kerakusan politik dan ekonomi. Ketika kekuasaan dijadikan rezeki, jabatan dijadikan hak milik, dan rakyat dijadikan alat, maka kekikiran menjelma menjadi korupsi.

Korupsi sesungguhnya bukan soal uang, tapi soal jiwa yang kering. Ia lahir dari rasa takut miskin yang berlebihan, dari kehilangan rasa cukup, dari nafsu yang tak lagi dikawal oleh iman. Akibatnya, yang kaya semakin menindas, yang miskin semakin kehilangan hak. Negara menjadi tampak makmur, tapi sesungguhnya sedang sekarat karena kehilangan etika.

Empat Mazhab, Satu Kongsi

Empat sifat ini—lemah, malas, takut, dan kikir—bila bersatu, membentuk kongsi yang tak tertulis namun sangat berpengaruh. Mereka bersekutu dalam diam untuk melumpuhkan bangsa dari dalam. Kita menyaksikan banyak kebijakan yang tak berpihak kepada rakyat bukan karena kurang data, tapi karena kurang moral.

Mereka yang duduk di kursi kekuasaan tapi takut memperjuangkan kebenaran; mereka yang berlimpah harta tapi kikir berbagi tanggung jawab; mereka yang berilmu tapi malas menegur kebatilan — semuanya adalah penganut mazhab ini. Sebuah mazhab yang tidak diajarkan di universitas mana pun, tapi menjadi ideologi tersembunyi di banyak ruang rapat.

Dari Jiwa yang Sakit ke Bangsa yang Sakit

Empat penyakit ini bukan hanya merusak spiritualitas, tapi juga kesehatan fisik dan sosial. Rasa takut menimbulkan stres kolektif, kemalasan melahirkan ketergantungan, dan kekikiran menumpulkan empati. Dari sini lahir krisis kepercayaan, tragedi ekonomi, dan perpecahan sosial. Bangsa tidak jatuh karena musuh dari luar, tapi karena jiwa-jiwa yang membusuk di dalam.

Doa Nabi ﷺ itu sejatinya adalah peta penyelamatan: “Berlindunglah sebelum empat hal ini menjelma menjadi sistem.” Sebab ketika mereka menjadi sistem, tak ada lagi yang bisa diselamatkan—hukum bisa direkayasa, agama bisa ditafsirkan, dan nurani bisa dibungkam.

Isti‘ādzah Sebagai Revolusi Jiwa

Doa ini adalah deklarasi perang terhadap empat wabah moral itu. Ia bukan sekadar ucapan lembut, tapi seruan agar manusia kembali sehat secara rohani dan berani secara moral. Bangsa tak akan maju dengan menambal ekonomi, jika akhlaknya bocor dari dalam.

Isti‘ādzah — memohon perlindungan kepada Allah — adalah revolusi batin: menyadari bahwa musuh terbesar bukan pada luar diri, tapi di dalam hati. Dan siapa pun yang berhasil menaklukkan empat mazhab ini dalam dirinya, dialah manusia yang sedang membangun peradaban.

*Penulis: Sekretaris Jenderal IKA Institut Agama Islam (IAI) Persis Bandung