
Oleh: Suhendar*
REVITALISASI seharusnya bermakna perbaikan. Ia adalah upaya memodernisasi tanpa menghilangkan esensi: manusia dan kehidupannya. Namun, yang terjadi di Pasar Banjaran, Kabupaten Bandung, justru menunjukkan wajah buram dari sebuah proyek yang diklaim membawa modernisasi. Alih-alih membangkitkan ekonomi kerakyatan, proses revitalisasi ini justru dikeluhkan meminggirkan para pedagang yang selama ini menopang kehidupan pasar.
Seperti diberitakan oleh Ayobandung (02 Mei 2025), pedagang Pasar Banjaran mengungkap keresahannya karena merasa tidak dilibatkan secara utuh dalam proses perencanaan revitalisasi. Sosialisasi dinilai minim, pendekatan bersifat sepihak, dan keputusan terkesan dipaksakan tanpa ruang dialog.
Modernisasi atau Komersialisasi?
Perlu kita tegaskan bahwa revitalisasi bukanlah sesuatu yang keliru. Pembaruan infrastruktur pasar tradisional memang penting agar dapat bersaing secara sehat dengan pasar modern. Namun revitalisasi tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang menyingkirkan mereka yang seharusnya menjadi subjek utama: para pedagang kecil.
Kekeliruan besar dalam proyek Pasar Banjaran ini adalah pendekatan yang elitis dan eksklusif. Bukannya memulai dari dialog terbuka, proses ini tampaknya berjalan secara top-down, tanpa ruang yang cukup untuk partisipasi bermakna dari pedagang. Ketika partisipasi hanya bersifat administratif — sekadar sosialisasi yang sepihak — maka yang terjadi bukan revitalisasi, melainkan legitimasi penggusuran.
Jika negara mulai membiarkan pasar rakyat dikelola sepenuhnya oleh swasta tanpa kontrol dan keberpihakan, maka akan terjadi proses privatisasi ruang hidup rakyat. Dalam jangka panjang, ini bukan hanya merugikan para pedagang, tapi juga merusak ekosistem ekonomi lokal yang berakar kuat pada pasar tradisional.
Saatnya Gubernur Dedi Mulyadi Bertindak
Masalah Pasar Banjaran ini tidak boleh dianggap sepele atau sekadar urusan teknis di tingkat kabupaten. Ini adalah cerminan dari cara negara memperlakukan rakyat kecil dalam arus pembangunan. Maka, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, perlu segera turun tangan untuk menyelesaikan persoalan ini secara adil, transparan, dan berpihak pada kepentingan masyarakat.
Sebagai sosok yang selama ini dikenal dekat dengan aspirasi rakyat kecil, Gubernur Dedi Mulyadi memiliki momentum penting untuk membuktikan komitmennya terhadap keadilan sosial. Pemerintah Provinsi Jawa Barat dapat mengambil peran strategis untuk:
- Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proses revitalisasi, mulai dari sosialisasi, pendataan pedagang, hingga skema pembiayaan kios.
- Membentuk tim independen yang melibatkan unsur akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan perwakilan pedagang guna menelaah ulang kebijakan revitalisasi.
- Memastikan bahwa tidak ada pedagang yang kehilangan hak atas tempat usahanya, dan seluruh proses berjalan dengan prinsip keadilan dan musyawarah.Langkah-langkah ini penting agar revitalisasi Pasar Banjaran benar-benar menjadi instrumen kemajuan bersama, bukan sekadar proyek fisik yang justru merugikan rakyat.
Penutup
Pembangunan yang meninggalkan rakyat kecil adalah pembangunan yang cacat secara moral. Pasar bukan hanya ruang ekonomi, tetapi juga ruang sosial — tempat interaksi, solidaritas, dan kehidupan bermasyarakat tumbuh. Jika ruang ini diubah menjadi sekadar aset komersial, maka yang hilang bukan hanya tempat jual beli, tapi juga sebagian dari jantung kehidupan rakyat.
Pasar Banjaran adalah pengingat bahwa pembangunan harus dikawal, diawasi, dan diluruskan bila melenceng dari nilai-nilai keadilan. Dan saat ini, rakyat menanti keberpihakan nyata dari pemimpinnya.
Gubernur Dedi Mulyadi, inilah saatnya Anda hadir dan membuktikan bahwa suara rakyat kecil masih memiliki tempat dalam wajah pembangunan Jawa Barat hari ini.
Penulis: Guru dan Aktivis Sosial Kabupaten Bandung*