Opini  

Pemuda dan Ilusi Dukungan Sistem

Oleh: Herdiana*

SEJARAH membuktikan dengan tegas: semangat pemuda tidak pernah lahir dari kenyamanan kekuasaan, tetapi dari keberanian melawan kebekuan sistem. Perubahan besar bangsa ini tidak pernah menunggu restu—ia selalu lahir dari pemberontakan yang terukur, dari kegelisahan yang produktif, dari penolakan terhadap status quo yang membusuk.

Ketika Pemuda Menulis Sejarah dengan Darah dan Keringat

Sumpah Pemuda 1928 adalah manifesto pemberontakan. Ia bukan hadiah dari sistem kolonial yang “tercerahkan,” melainkan hasil perlawanan intelektual terhadap sistem yang justru berupaya memecah-belah. Para pemuda waktu itu bukan bagian dari elit kekuasaan—mereka adalah outsiders yang dipandang sebelah mata. Tanpa akses politik, tanpa modal ekonomi, bahkan dengan ancaman penindasan di kepala, mereka justru melahirkan gagasan yang melampaui zamannya: satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa.

Ini bukan romantisme kosong. Ini adalah bukti empiris bahwa ide revolusioner lahir justru dari mereka yang tidak memiliki privilese untuk nyaman dalam sistem yang ada.

Tujuh belas tahun kemudian, semangat yang mereka tanamkan berbuah menjadi kemerdekaan. Bukan karena sistem kolonial tiba-tiba dermawan, tetapi karena kesadaran rakyat—yang dipantik oleh keberanian para pemuda—telah mencapai titik kritis yang tidak bisa dibendung lagi.

Tahun 1966, sejarah kembali bergetar. Ketika kekuasaan menjadi otoriter, ekonomi carut-marut, dan moral bangsa merosot ke titik nadir, pemuda menolak menjadi penonton. Gerakan mahasiswa menjadi penanda bahwa di tengah kebekuan sistem, masih ada nadi moral yang berdetak keras. Mereka tidak menunggu undangan untuk bersuara—mereka merebut mimbar sejarah dengan paksa.

Dan tahun 1998 membuktikan lagi: ketika korupsi, kolusi, dan nepotisme menumpuk selama tiga dasawarsa hingga membusuk, pemuda kembali muncul di garis depan. Reformasi lahir bukan dari negosiasi elite, tetapi dari keringat, air mata, dan darah pemuda yang rela menanggung risiko. Mereka tidak menunggu restu – mereka mengguncang sistem hingga roboh.

Pola yang Tak Terbantahkan

Tiga momentum besar itu menunjukkan satu pola yang konsisten dan keras: pemuda selalu menjadi motor perubahan justru ketika sistem tidak berpihak kepada mereka.

Ini bukan kebetulan. Ini adalah hukum sejarah.

Pemuda tidak pernah dilahirkan oleh kenyamanan—ia justru dibentuk oleh kegelisahan. Tidak tumbuh dari tepuk tangan kekuasaan—ia justru menguat dari keberanian menentang kekuasaan yang stagnan. Karena itu, menjadi ironis—bahkan tragis—jika hari ini semangat kepemudaan justru diarahkan untuk mencari legitimasi, dukungan, atau bahkan pembiayaan dari sistem yang sedang mandek.

Mari kita jujur pada diri sendiri: tidak ada rezim dalam sejarah yang sungguh-sungguh menumbuhkan pemuda kritis tanpa rasa takut dikoreksi. Setiap generasi pemuda yang bersuara keras selalu berhadapan dengan dinding sistem—dan justru dari benturan itulah lahir perubahan. Sistem yang sehat memang seharusnya mendukung generasi muda. Tetapi ketika sistem itu sendiri yang sakit, menunggu dukungan dari sana sama saja dengan meminta api untuk memadamkan dirinya sendiri.

Kenyamanan Digital: Candu Generasi yang Membius

Kini, tantangan terbesar generasi muda bukan lagi keterbatasan fisik atau informasi, tetapi kenyamanan digital yang mematikan daya juang. Kita hidup di era di mana suara lantang di media sosial sering disalahartikan sebagai perjuangan, padahal tanpa gerak nyata di ruang sosial-politik, semua itu hanya gema kosong di kamar tidur.

Ini bahaya yang lebih halus, lebih mematikan: ilusi bahwa kita sudah melawan, padahal kita hanya mengetik. Ilusi bahwa kita sudah kritis, padahal kita hanya mengkonsumsi konten yang menegaskan bias kita sendiri. Ilusi bahwa kita sudah bergerak, padahal kita hanya berputar di tempat.

Aktivisme media sosial tanpa mobilisasi riil adalah masturbasi intelektual—memuaskan secara personal, tetapi tidak produktif secara sosial.

Panggilan untuk Generasi yang Tidak Mau Punah

Pemuda tidak boleh kehilangan keberanian untuk menggugat. Tidak cukup menjadi kreatif— harus juga kritis. Tidak cukup berpikir idealis— harus pula berani menantang realitas. Karena perubahan sosial tidak pernah lahir dari keramaian yang pasif, tetapi dari kesadaran kolektif yang aktif dan terorganisir.

Jangan terjebak dalam diskursus tanpa aksi. Jangan terbuai oleh retorika tanpa risiko. Jangan puas dengan kritik yang hanya beredar di antara mereka yang sudah setuju.

Maka, berhentilah menunggu “hujan sistem” yang diharapkan menyuburkan semangat pemuda. Sejarah tidak mencatat perubahan lahir dari menunggu. Ia lahir dari keberanian untuk memulai—bahkan ketika langit tampak mendung, tanah gersang, dan mayoritas memilih apatis.

Diam berarti menjadi komplit dalam pembusukan.

Bangkit berarti menanam kembali harapan yang nyaris punah.

Sejarah selalu berpihak kepada mereka yang bergerak—bukan kepada mereka yang menunggu restu dari sistem yang beku. Dan yang lebih penting lagi: sejarah tidak pernah melupakan mereka yang memilih nyaman ketika generasi mereka membutuhkan keberanian.

Pertanyaannya bukan apakah sistem akan mendukungmu. Pertanyaannya adalah: apakah kamu berani bergerak meskipun sistem tidak mendukungmu?

Karena di situlah letak esensi sejati kepemudaan: berani menjadi gelombang perubahan, bukan sekadar partikel yang hanyut dalam arus.

*Penulis: Aktivis dan Pemerhati Gerakan Sosial