Opini  

Satu Komando, Satu Takhta

Oleh: Herdiana*

BANYAK partai politik di negeri ini berubah menjadi kerajaan kecil. Kepemimpinan berjalan turun-temurun, seolah jabatan politik adalah warisan sah keluarga. Kader boleh berjuang mati-matian di lapangan, tapi mahkota selalu jatuh di kepala keturunan sang ketua.

Di ruang-ruang partai, istilah “satu komando” sering digaungkan dengan nada heroik. Tapi di balik seruan itu tersembunyi pesan yang lebih dalam: jangan berpikir, cukup patuh. Loyalitas ditafsirkan sebagai kepatuhan total, bukan kesetiaan pada ideologi. Maka lahirlah generasi kader yang fasih mengulang slogan, tapi gagap memahami arah perjuangan partainya sendiri.

Partai yang semula dibangun atas dasar idealisme berubah menjadi milik pribadi. Kongres dan musyawarah hanya formalitas; keputusan penting sudah ditentukan di meja keluarga. Hubungan darah lebih menentukan daripada rekam jejak. Maka tidak heran, regenerasi politik di banyak partai mandek di lingkaran sempit yang sama.

Fenomena ini bukan sekadar soal struktur organisasi, tapi soal moral kekuasaan. Ketika partai menjadi dinasti, nalar publik ikut tersumbat. Kritik dianggap pengkhianatan, padahal justru di situlah tanda kesetiaan sejati. Loyalitas tanpa kritik hanyalah bentuk ketakutan yang dibungkus disiplin.

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menulis bahwa kekuasaan yang diwariskan tanpa meritokrasi akan cepat lapuk. Solidaritas sosial (‘ashabiyyah) yang semula tumbuh karena nilai, akhirnya mati karena kepentingan. Sementara Al-Mawardi mengingatkan, ketaatan hanya layak diberikan kepada pemimpin yang menegakkan kebenaran. Jika ia menyimpang, tidak ada kewajiban untuk tunduk.

Namun di banyak partai hari ini, nasihat itu tak lagi punya ruang. Satu komando dijadikan mantra sakti yang menutup ruang debat. Ia terdengar disiplin, tapi sebenarnya menandakan ketakutan terhadap pikiran bebas.

Partai yang sehat mestinya menjadi laboratorium ide, bukan pabrik pengulangan. Tapi di bawah sistem dinasti, partai justru berubah menjadi perusahaan keluarga yang mengelola saham kekuasaan. Kader yang berpikir kritis akan segera tersingkir, diganti mereka yang pandai memuji dan berhitung peluang.

Nurcholish Madjid pernah mengingatkan, kesetiaan tertinggi dalam kehidupan sosial adalah kepada nilai, bukan kepada figur. Politik yang beradab hanya tumbuh dari keberanian berpikir, bukan dari ketakutan kehilangan posisi.

Demokrasi kehilangan maknanya ketika partai-partai dikuasai keluarga dan loyalitas diukur dari kepatuhan pada satu suara. “Satu komando” memang terdengar gagah, tapi di bawahnya kerap bersembunyi satu kebenaran yang dikunci rapat oleh satu orang.

Sudah waktunya partai-partai melepaskan diri dari bayang-bayang dinasti dan mengembalikan makna loyalitas kepada tempat yang semestinya — pada ide, nilai, dan cita-cita kebangsaan. Karena yang setia pada figur akan mati bersama kekuasaan, tetapi yang setia pada nilai akan hidup bersama sejarah.

*Penulis: Aktivis dan Pemerhati Gerakan Sosial