
KAB. BANDUNG, LINTAS JABAR – Pelatihan penyusunan media pembelajaran berbasis computational thinking yang digelar pada 14–15 November lalu rupanya bukan titik akhir. Bagi guru-guru SMP Negeri 1 Baleendah, itu baru pemanasan.
Fase sesungguhnya dimulai sepekan kemudian, ketika mereka membawa hasil pelatihan ke ruang kelas dan mulai menguji Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) Digital dalam situasi nyata.
Kegiatan implementasi berlangsung sejak 21 hingga 26 November 2025, bagian lanjutan dari program Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) yang digarap tim dosen Politeknik Negeri Bandung dan Universitas Pendidikan Indonesia, dengan dukungan pendanaan dari Ditjen Riset dan Pengembangan, Kemendikti Sains dan Teknologi.
Sebanyak 21 guru peserta dibagi ke dalam tiga kelompok lintas mata pelajaran.
Formatnya sengaja dibuat campur-aduk: guru IPA satu kelompok dengan IPS, matematika berdampingan dengan Bahasa Indonesia, PKn dan Pendidikan Agama pun terlibat dalam kolaborasi yang sama.
Cara ini dipilih untuk menegaskan sebuah pesan penting: computational thinking bukan milik kelas informatika saja, melainkan cara berpikir yang bisa menembus batas mata pelajaran.
Dari kolaborasi itu lahir LKPD Digital yang memuat unsur CT, dekomposisi, pengenalan pola, abstraksi, hingga perancangan algoritma.
Setiap karya kemudian diunggah ke komputasikreatif.id, platform yang berfungsi sebagai bank ide dan ruang berbagi antarguru.
Di sana, LKPD tak hanya hadir sebagai dokumen, tetapi ditemani video tutorial, aset visual, dan langkah kerja yang mereka produksi selama fase pelatihan.
Hasilnya: sebuah paket belajar yang dapat direplikasi, diperkaya, dan diadopsi guru lain kapan saja.
Implementasi LKPD dilakukan di kelas VII dan VIII
Di ruang-ruang kelas itu, semangat baru terasa muncul. Siswa tampak antusias mengikuti rangkaian kegiatan belajar yang menuntut mereka memecah persoalan, mengenali pola, dan menyusun langkah penyelesaian.
Guru menggabungkan LKPD Digital dengan Card Mat Modular dan aktivitas berbasis masalah, menghubungkan pengalaman konkret dengan materi digital yang mereka akses melalui gawai atau proyektor.
Beberapa guru mengakui suasana kelas menjadi lebih hidup. Siswa lebih banyak berdiskusi, mencoba, dan mengoreksi pemikirannya sendiri. Bagi guru, fase ini menjadi ajang pembuktian: apakah LKPD yang mereka rancang benar-benar mampu menggerakkan kemampuan berpikir kritis dan sistematis siswa.
Implementasi ini diharapkan bukan sekadar eksperimen sesaat, melainkan awal dari sebuah komunitas belajar guru yang berkelanjutan di SMP Negeri 1 Baleendah.
Dengan komputasikreatif.id sebagai pusat kolaborasi, para guru didorong terus memperbarui, menyempurnakan, dan membagikan LKPD Digital mereka. Jika konsisten, revolusi kecil ini punya peluang membesar, menyebarkan praktik baik computational thinking ke lebih banyak kelas, lebih banyak mata pelajaran, dan mungkin, lebih banyak sekolah. (Herdi)












