Opini  

Bantuan Luar Negeri Berpotensi Kerdilkan Kemandirian Bangsa

“Terus menerus mengandalkan bantuan luar negeri, sekalipun berupa dana hibah, berpotensi mengerdilkan kemandirian bangsa,” demikian pandangan Ledia Hanifa Amaliah, anggota komisi IX DPR RI soal bantuan asing yang secara terus menerus masih diharapkan pemerintah kepada negara-negara donor maupun lembaga-lembaga internasional.

Pernyataan Ledia ini diungkapnya sehari sebelum keberangkatannya ke Brazil dalam rangka menghadiri Global Fund’s 4th Partnership Forum (27-30 Juni 2011) yang diselenggarakan oleh Global Fund, lembaga dunia yang mengkhususkan diri untuk menyalurkan bantuan hibah khusus bagi program penanggulangan penyakit TBC, Malaria dan HIV/AIDS di berbagai negara.

Sejak 2003, secara bertahap Global Fund telah mengucurkan dana sekitar 630 juta dollar AS atau lebih dari 5 trilyun rupiah kepada negaraIndonesia. Bantuan terbaru yang diberikan untuk periode 2010-2012 berjumlah 60,8 juta dollar AS yang disalurkan melalui Kementrian Kesehatan sebanyak 39,2 juta dollar, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) sebanyak 18,6 juta dollar dan Nahdatul Ulama (NU) sebanyak 2,9 juta dollar.

“Kita memahami bahwa pemerintah belum mampu mengatasi sendiri persoalan kesehatan di negeri ini termasuk dalam soal penanggulangan TBC, Malaria dan HIV/AIDS,” kata Ledia. “namun, satu hal yang patut diingat, setiap bantuan, entah hibah dan apalagi pinjaman selalu membawa misi khusus dari pihak pemberi bantuan, yang seringkali justru dapat menjadi masalah baru bagi negara penerima bantuan,” jelas aleg  PKS dari daerah pemilihan Jawa Barat 1 ini lagi.

Hal paling rawan dari terus menerus menerima bantuan asing menurut Ledia adalah munculnya ketergantungan dan hilangnya kemandirian bangsa. “karena merasa nyaman menerima dana bantuan asing, kegigihan kita untuk dapat mengelola bangsa ini secara mandiri akan menjadi lemah. Kita bisa melihat bagaimana sampai saat ini setelah bertahun-tahun, program penanggulangan HIV/AIDS sebanyak 70%nya masih bergantung pada dana bantuan asing. Padahal seharusnya, meskipun bantuan asing masih diperlukan, jumlahnya harus diupayakan terus menerus turun.”

Ibu empat anak ini lantas juga mengingatkan, bahwa mengandalkan program pembangunan dengan bantuan asing sesungguhnya sangat rentan karena bantuan itu sendiri dapat dengan mudah direvisi, dihentikan sementara atau bahkan dihentikan secara permanen.

Krisis dunia, krisis yang terjadi di negara donor, krisis di dalam lembaga-lembaga pensupport hingga krisis di negara penerima bantuan sangat mempengaruhi keberlangsungan bantuan. Pada 2007, hibah bagi Indonesia sempat dihentikan oleh Global Fund atas dasar temuan penyimpangan penggunaan dana. Sementara pada saat ini krisis Yunani juga mempengaruhi beberapa negara dan lembaga pensupport dana Global Fund untuk mengurangi atau menghentikan bantuannya.

“Tanpa kesiapan kemandirian, banyak program akan terkatung-katung atau terhenti. Begitu pula pihak daerah yang merupakan ujung tombak dari pelaksanaan program penganggulangan penyakit TBC, Malaria dan HIV/AIDS agaknya belum siap bila ada kondisi semacam ini terjadi di tengah perjalanan program,” tambah Ledia pula.

Hal lain yang juga menjadi sangat krusial dalam ketergantungan pada bantuan asing adalah ketidakadilan yang sering menimpa negara penerima bantuan.

Bukan rahasia lagi kalau negara penerima bantuan harus patuh dan taat pada syarat yang diminta pihak pendonor meskipun sesungguhnya secara umum menjadi tidak adil. Misalnya syarat mengikat bahwa dana yang diperoleh dari Global Fund hanya boleh dibelikan obat produksi perusahaan yang sudah mendapat prekualifikasi WHO. Sementara sampai saat ini, perusahaan obat milik negara Indonesia, meski secara pabrik dan bahan baku siap serta sudah bersertifikasi CPOB, tidak kunjung masuk dalam prekualifikasi tersebut.

“Mungkin masih bisa diterima kalau kita belum bisa mengekspor obat buatan lokal ke luar negeri. Tetapi menggunakan obat buatan lokal untuk konsumsi dalam negeri sendiri, mengapa menjadi tidak dibenarkan? Padahal standar pembuatan obat kita sudah bersertifikasi CPOB,” gugat Ledia.

Dalam pertemuan rutin para CCM (Country Coordinating Mechanism) -semacam tim pengaju, penerima dan pengawas bantuan- Global Fund tahun ini memang disediakan sesi khusus bagi para anggota parlemen negara donor dan penerima bantuan untuk bertukar pikiran. Maka Ledia pun bermaksud untuk mendiskusikan dan mempertanyakan soal kebijakan-kebijakan dana bantuan ini untuk perubahan yang lebih baik di kemudian hari.

“Sehingga kalaupun kita masih mengandalkan bantuan di masa datang, setidaknya harus terkurangi sedikit demi sedikit dengan mengedepankan semangat membangun kemandirian dan kemauan membangkitkan potensi lokal.” Lugasnya.

Penulis:

Hj. Ledia Hanifa Amaliah, S.Si, M. Psi.T

Anggota Fraksi PKS DPR RI/ A-66

Komisi IX: Kesehatan, Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Tinggalkan Balasan