BANDUNG, LJ – Program Jabar Masagi, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menginginkan anak usia sekolah memiliki karakter. Tentunya, harus ada materi-materi pelajaran yang ditanamkan, seperti budi pekerti (kearifan lokal). Namun, mengingat Jabar cukup luas dan masing-masing wilayah punya nilai-nilai kearifan lokalnya sendiri maka tak boleh ada penyeragaman.
Di Jabar secara budaya terbagi menjadi tiga yaitu budaya Priangan, budaya Cirebon, dan budaya Betawian. Lantas pertanyaannya, wilayah mana saja yang masuk Budaya Betawian diantara Depok, Bekasi, Bogor dan sebagainya. Karena lebih dekat ke Jakarta tentunya memiliki kearifan lokal dan budaya Betawian.
Sedangkan yang berada di wilayah Cirebon, Indramayu dan Majalengka tentunya kearifan lokalnya lebih ke Cirebonan. Sementara yang masuk kewilayah Priangan, Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Garut, Bandungraya.
“Untuk itu program Jabar Masagi itu harus disesuaikan dengan kearifan lokal dan budaya yang ada diwilayah masing-masing,” jelas Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat, Dewi Sartika yang akrab disapa Ike kepada wartawan di ruangannya kemarin.
Lebih lanjut Ike mengatakan, yang diharapkan dari program Jabar Masagi adalah bagaimana Jawa Barat mempunyai manusia yang Masagi. Yaitu, masyarakat Jabar mampu merasakan hidup dalam kebersamaan.
“Merasakan itu surti, memahami itu harti, jadi ada surti, harti, melakukan bukti, kemudian dia hidup bersama, hidup bersama itu bakti, kira-kira seperti itu. Jadi saya rasa, mereka harus menemukan, dan bentuk kegiatan memang ada di kita, kegiatannya lebih kepada silabus-silabusnya nanti kita akan tetapkan berdasarkan masukan-masukan di lokal, baik itu dari KCD, dari disdik, dan tentu saja masyarakat-masyarakat, atau mitra yang terkait dengan pendidikan,” tambah mantan Kadis Ketahanan Pangan dan Peternakan Jabar ini.
Setelah itu, sambungnya, baru baru nanti akan disosialisasikan kepada sekolah-sekolah, mulai dari Provinsi, Kabupaten/Kota. Tahapan-tahapan ini harus dirancang dan disusun secara terstruktur. Kemudian baru dituangkan dalam bentuk buku pelajaran yang memuat kearifan lokal di wilayah masing-masing.
“Atau ada juga bahasa lain, merasakan itu rasa, memahami karsa, melakukan itu karya, hidup bersamanya itu ada dumandi, nyatalah gitu ya, jadi itu bahasa yang luar biasa, punya value, punya nilai. Misalkan, kearifan lokal Betawi tidak biasa diterapkan di Cirebon maupun di Priangan, begitu sebaliknya. Jadi harus diterapkan di iwlayah masing-masing,” terangnya.
Semua itu, nanti akan dijabarkan, bentuknya seperti apa, dan modulnya seperti apa, solusinya harus seperti apa, dan kepada siapa. “Tahapannya mungkin ada TOT (training of trainers),” katanya. (Ihsan)