Traffiking Bentuk Perbudakan Dan Termasuk Masalah Krusial

BANDUNG (Lintasjabar.com),- Dari rilis yang diterima redaksi, kunjungan kerja gugus tugas penghapusan perdagangan perempuan dan anak serta dalam rangka penandatanganan perjanjian kerjasama pencegahan dan penanganan korban tindak kekerasan dan perdagangan orang (trafficking) di Kepualauan Riau yang dilakukan Pemerintah Provinsi Jawa Barat terutama Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Jabar, Jumat (12/11) dikatakan bahwa tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak (violence) adalah sebuah fenomena yang universal yang terjadi dalam berbagai bentuk seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pekerja migrant bermasalah dan trafficking yang merupakan bentuk perbudakan di era modern.

Dikatakan Kepala BPPKB Jabar, Sri Asmawati Kusumawardani, SH. M. Hum, trafficking merupakan kejahatan terhadap hak asasi manusia yang mengabaikan seseorang untuk hidup bebas, tidak disiksa, kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, beragama, hak untuk tidak diperbudak, dan pelanggaram HAM lainnya. Sehingga, dinilainya, trafficking merupakan masalah krusial. Ditambahkannya, berdasar hasil survey, Jabar dikategorikan sebagai salah satu provinsitempat tumbuh suburnya praktek perdagangan orang, hingga mencapai 60 persen dari data trafficking. Sementara wilayah Jabar yang dikategorikan rawan praktik perdagangan oeang (sending area) diantaranya, Indramayu, Cirebon, Subang, Sukabumi, Kota Bandung, serta Kabupaten Bandung menurut data Komnas Pelindungan Anak 2007.

ditambahkan Sri Asmawati perempuan dan anak adalah paling banyak menjadi korban perdagangan orang. Sosok mereka dianggap rentan, hingga kerap menjadi korban trafficking. Namun demikian, lanjutnya, secara umum dapat diidentifikasi beberapa factor yang mendorong terjadinya trafficking. Dijelaskan Sri, factor pendidikan yang rendah dan kurangnya keterampilan bekerja menjadi bagian dari munculnya trafficking. Selain itu, perkawinan usia muda juga salah satu cara bagi keluarga miskin untuk melepaskan tanggung jawab mereka.

Sementara itu, dalam keterangan tertulis Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan yang dibacakan Asisten Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang di Jawa Barat, H. Aip Rivai, SH. M. Si berharap peningkatan kerjasama pelayanan bidang kesejahteraan social yang terkait dengan persoalan perdagangan orang dan dianggap sebagai bagian masalah yang cukup krusial bias ditindak lanjuti kerjasama antar provinsi setelah penandatanganan Mou antara gubernur Jawa Barat dengan Gubernur Kepulauan Riau 29 September 2010.

Penjanjian kerjasama tersebut, lanjutnya, sangat penting mengingat adanya informasi dan data yang menyatakan bahwa Jawa Barat merupakan salah satu sending area trafficking. Sementara yang dilakukan Jawa Barat sejauh ini adalah tertuang dalam Peraturan Daerah No. 3 tahun 2008 tentang pencegahan dan penanganan korban perdagangan orang juga Pergub No. 89 tahun 2009 tentang juklak Perda No. 3 tahun 2008 tentang pencegahan dan penanganan trafficking.

“Persoalan besar penanganan trafficking tidak bias dilakukan dengan pendekatan usha yang biasa (ordinary effort). Tetapi kejahatan ini perlu ditangani secara holistic dan melibatkan peran serta masyarakat. Bahkan pemberantasan tindak pidanan trafficking udah menjadi komitmen internasional,” tandasnya. (Ds)

Tinggalkan Balasan