Deden Darmansyah “Tradisi Yang Tidak Sesuai Dengan Kepatutan Dan Kelayakan”

BANDUNG (Lintasjabar.com),-Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Prov. Jawa Barat menduga, dimasukkannya Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) ke dalam deposito, sengaja direncanakan untuk tidak digunakan bagi kepentingan rakyat yang lebih besar. Karena itu, tradisi yang telah berlangsung selama lima tahun anggaran itu (2006-2010), merupakan tradisi yang tidak sesuai dengan kepatutan dan kelayakan.

Hal tersebut diungkapkan Deden Darmansyah, anggota Komisi A DPRD Prov. Jabar kepada wartawan, Kamis (14/7) siang, di Gedung Sate, Kota Bandung.

Deden menuturkan, dalam hal ini, rakyatlah yang paling dirugikan. “Sementara masih banyak kebutuhan rakyat Jabar yang belum terpenuhi, uangnya malah didepositokan. Rakyat yang jelas-jelas dirugikan karena uang rakyat tidak digunakan seluruhnya untuk kepentingan rakyat. Dan rakyat dapat mengajukan gugatan atas kerugian tersebut. Di saat rakyat butuh program dan kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, ternyata penyelenggara pemerintahan daerah dengan sengaja mentradisikan mendepositokan uang rakyat. Patut dan layakkah hal ini dilakukan,” ujarnya.

Namun Deden mengakui jika tidak ada larangan untuk mendepositokan dana pemerintah itu dibenarkan. Itu sesuai dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, khususnya pasal 193 ayat 1 dan ayat 2. Pasal 193 ayat 1 menyebutkan, uang milik pemerintahan daerah yang sementara belum digunakan, dapat didepositokan dan/atau diinvestasikan dalam investasi jangka pendek sepanjang tidak tidak mengganggu likuiditas keuangan daerah.

Sementara ayat 2 menjelaskan, bunga deposito, bunga atas penempatan uang di bank, jasa giro, dan/atau bunga atas investasi jangka pendek merupakan pendapatan daerah. Meski diperbolehkan undang-undang, tapi tetap saja harus menyesuaikan dengan sistem akuntansi pemerintahan.

“Artinya, uang deposito berikut bunganya itu, harus kembali ke kas induk per 31 Desember tahun berkenaan, sesuai dengan sistem akuntansi pemerintahan, bahwa anggaran berlangsung 1 januari sampai 31 Desember. Dengan demikian menjadi saldo awal tahun anggaran berikutnya,” kata Deden.

Deden menjelaskan, deposito di awal tahun akan mengganggu likuiditas kas daerah. Ujung-ujungnya bakal menghambat pelaksanaan program dan kegiatan pada triwulan awal. Ini terbukti, sampai dengan pertengahan tri wulan kedua tahun anggaran 2011, belanja kegiatan OPD-OPD (Organisasi Perangkat Daerah) baru mencapai 12 persen.

Pada prinsipnya, kata Deden, anggaran pemda menganut prinsip berimbang. Artinya pendapatan dan belanja sama bahkan defisit, secara teori tidak memungkinkan adanya SiLPA, berapapun nominalnya.

“Ini apalagi SiLPA sampai Rp 2,4 triliun dan Rp 1,5 triliunnya didepositokan. Jika ini terjadi terus menerus, bahkan sampai ada tradisi SiLPA didepositokan pada Oktober tiap tahun anggaran. Ini menandakan perencanaan anggaran yang kurang cermat dan tepat. Bisa juga terindikasi ada strategi perencanaan SiLPA yang disengaja,” katanya.

Sementara itu, Sekretaris Fraksi Partai Demokrat Didin Supriadin, berencana mengajukan hak interpelasi terkait SiLPA yang didepositokan. Pasalnya, temuan SiLPA didepositokan selama lima tahun anggaran tersebut, sangat mengejutkan.

“Pemerintah provinsi perlu menjelaskan SiLPA yang didepositokan sejak tahun anggaran 2006 hingga tahun anggaran 2010. Dikemanakan selama ini SiLPA yang didepositokan itu, termasuk bunganya. Apakah dimasukkan dalam APBD murni tahun anggaran berikutnya atau bagaimana. Itulah sebabnya kami akan mengajukan hak interpelasi. Apalagi Menko Perekonomian Hatta Rajasa pernah mengatakan, SiLPA APBN diharamkan didepositokan. Nah ini SiLPA APBD kok malah didepostikan,” ujarnya.

Sebenarnya, dengan temuan SiLPA yang didepositokan selama lima tahun anggaran tersebut, menjadi “tamparan” juga bagi DPRD. Mestinya, DPRD bisa mendeteksi sejak awal tentang hal itu. “Fungsi dewan ada tiga yaitu legislasi, budgeting, dan pengawasan. Artinya, dewan pun bertugas dalam mengawasi anggaran termasuk aturan-aturannya,” ucap Didin.

Berbeda dengan lainnya, anggota Komisi D DPRD Jabar dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Imam Budi Hartono, menuturkan, ramai-ramai soal deposito itu baru isu. “Harus dibuktikan dulu kebenarannya. Kalau benar, harus dicari latar belakang deposito itu,” ujarnya, di Kota Bandung, Kamis (14/7) siang.

Imam menambahkan, fraksinya memang tidak menemukan adanya SiLPA yang didepositokan dalam laporan pertanggungjawaban keuangan Pemprov. Jabar. “Namun, secara logika memang tidak ada SiLPA yang didepositokan. Kita anggap tidak ada itu masalah APBD yang didepositokan. Kalaupun ada, kami akan meminta pertanggungjawaban dari penanggung jawab keuangan pemprov kenapa punya kebijakan seperti itu. Dan jika ada, mestinya atas kesepakatan bersama,” katanya. (Ihsan/Husein)

Tinggalkan Balasan