Opini  

EPIDEMOLOG: KOTA BANDUNG BELUM SIAP “NEW NORMAL”

PEMERINTAH Kota (Pemkot) Bandung masih memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) proporsional. Hal itu karena berdasarkan hasil evaluasi Gugus Tugas Covid-19 Provinsi Jawa Barat, Kota Bandung masih berada di zona kuning, atau cukup berat. 

Epidemolog Dicky Budiman

Pemkot Bandung pun masih mengkaji tentang kesiapan penerapan Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) atau yang sering disebut New Normal.

Menurut epidemolog Dicky Budiman, dilihat dari berbagai indikator, belum ada satu pun kota di Indonesia yang siap untuk memasuki masa AKB, bahkan DKI Jakarta yang menurutnya paling baik dalam menangani pandemi ini di Indonesia. Hal tersebut berlaku pula untuk Kota Bandung.

“Belum siap. Bandung belum siap. Belum ada satu wilayah pun yang siap. Sampai saaat ini belum ada kabupaten kota yang siap,” ujarnya saat dihubungi Humas Kota Bandung, Senin (1/6/2020)..

Ia mengungkapkan, Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah merilis pedoman pelaksanaan ‘new normal’ atau AKB. Ada beberapa indikator yang harus dipenuhi jika akan melaksanakan AKB.

“Sebetulnya WHO secara umum sudah mengeluarkan kriteria. Kita bisa menerapkan new normal bila mana yaitu pertama dari sisi epidemiologi. Ada dari sisi angka repoduksi di mana itu harus di bawah 1, jumlah kasus barunya paling ideal 0 kalau mau bertahap minimal berkurang setengahnya, nggak ada kematian akibat Covid-19. Itu dari sisi epidemiologi,” beber kandidat doktor di Griffith University Australia itu.

[xyz-ips snippet=”props”]

Selain dari segi epidemiologi, indikator intervensi juga wajib diperhatikan, seperti cakupan pengetesan penyebaran penyakit, pelacakan penyakit, hingga kesiapan aturan, sarana, dan prasarana.

“Dari sisi intervensi, misalnya berapa cakupan testingnya. Tidak boleh menurun jumlah testingnya, minimal sama atau bagusnya meningkat dan (dilakukan) dengan PCR (Polymerase Chain Reaction). Jangan sampai dikatakan kasus menurun karena testing menurun, berarti tidak valid,” imbuhnya.

Hal yang tak kalah penting, sebagaimana disebutkan WHO, adalah partisipasi aktif dari masyarakat untuk menghentikan penyebaran Covid-19 ini. Menurut ilmuwan asal Kota Bandung ini, partisipasi inilah yang menjadi kunci penerapan AKB.

“WHO juga menyebutkan partisipasi aktif dan pemahaman dari masyarkat. Sejauh mana masyarakat memahami new normal, itu harus dari individu masyarakat,” tegasnya.

Ia menerangkan, AKB di level masyarakat adalah hal mendasar. Ada dua level AKB menurut pria asli Bandung itu, yaitu AKB di level individu, dan AKB di level instansi. Level kedua tidak akan berhasil jika level pertama belum sempurna.

“Pertama individu dan masyarakat, artinya orang perorang. Ini bisa dilakukan sejak awal, edukasi dan sosialisasi sejak awal, sejak pandemi itu terjadi, dan tentu ini tidak perlu menunggu kriteria apapun,” katanya.

Tataran AKB individu harus sampai pada tahap perubahan perilaku. Masyarakat perlu terbiasa dengan protokol kesehatan umum, seperti mencuci tangan, menjaga jarak, memakai masker, tidak pergi kemana pun jika tidak diperlukan, dan apapun yang diperlukan untuk mencegah penularan.

[xyz-ips snippet=”bacajuga”]

Level kedua adalah AKB yang diterapkan di ruang-ruang publik, seperti tempat ibadah, kantor, transportasi publik, dan pusat perbelanjaan. Pusat perbelanjaan bisa saja menerapkan protokol kesehatan, misalnya melarang masuk pengunjung yang demam, tidak memakai masker, dan masuk dengan bergerombol. 

Dicky menambahkan, bila pada level individu sudah tertanam pemahaman tentang kondisi AKB, masyarajat akan pergi ke mal hanya jika ada keperluan yang sangat penting, dan tidak pergi ke sana jika tidak mendesak. 

“Kalau ini tidak terbangun, dia mau kongkow, window shopping, jalan ke mal, karena dia tidak paham belum menerapkan new normal individu. Karena belum paham, ya malnya rame lagi, walaupun diatur oleh pemerintahnya atau manajemen, dengan banyaknya orag akan tetap jadi corwded. Artinya ini memerlukan tahapan dari sebelumnya pada level individu, memerlukan partisipasi aktif dari masyarakat,” paparnya.

Lebih lanjut ia mengtakan, riset WHO membuktikan peran aktif masyarakat yang menerapkan perubahan perilaku ini bisa berkontribusi 80% dalam pengendalian pandremi. 

“Besar sekali itu 80%. Kontribusi ini hanya bsa terjadi jika masyarakat paham,” tegasnya. (**)

Tinggalkan Balasan