BANDUNG (Lintasjabar.com),- Menindaklanjuti aspirasi dari Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Barat yang disampaikan kepada Komisi B DPRD Provinsi Jawa Barat, Menurut Ketua Komisi B DPRD Provinsi Jawa Barat, H. Hasan Zainal Abidin EZ., SE., MM, pihak APTI mempertanyakan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang diperoleh oleh Pemprov Jabar yang peruntukannya kurang dirasakan oleh para petani tembakau. Menurut Zaenal, para petani tembakau beranggapan percuma ada dana bagi hasil cukai tembakau kalau selama ini petani hanya sekedar diberi penyuluhan saja tanpa ada bantuan serta dukungan lain.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Biro Otonomi Daerah dan Kerjasama, Daud Achmad mengemukakan sesuai dengan UU 37/2007, dana bagi hasil cukai tembakau adalah sebesar 2% dari penerimaan negara dari cukai dibagikan kepada provinsi dan kab/kota dengan rincian sebesar 30% untuk provinsi, 40% untuk kab/kota penghasil serta 30% untuk kab/kota lainnya.
Jawa Barat sendiri menurut Daud, pada tahun 2010 menerima 20,8 milyar dari 69,5 milyar penerimaan negara dari cukai tembakau dan pada tahun 2011 diprediksi penerimaan negara dari cukai tembakau sebesar 94,7 milyar dan Jawa Barat diperkirakan akan menerima 28,4 milyar.
Lebih lanjut Daud mengemukakan bahwa berdasarkan Permenkeu No. 84, penggunaan dana bagi hasil bersifat spesific grant. DBHCHT ini menurut Daud roadmapnya adalah bagaimana agar cukai ini bisa tetap besar tapi dari segi kesehatan/sosial bisa ditekan dampaknya. Roadmap tersebut menurut Daud dilakukan dengan melalui 5 langkah/kegiatan yaitu peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industry yang terkait hasil tembakau, pembinaan kesehatan/sosial, sosialisasi ketentuan cukai serta pemberantasan cukai illegal yang dijabarkan dalam 22 kegiatan.
Bapeda Provinsi Jawa Barat yang juga hadir pada raker tersebut mengemukakan terkait DBHCHT ini pihak Bapeda fokus pada perencanaan penggunaan dana bagi hasil tembakau yang diarahkan sesuai dengan roadmap, mendorong peningkatan ekspor hasil tembakau untuk meningkatkan cukai dan kesemuanya itu mengacu pada UU No. 37/2007 yang dalam pelaksanaannya diserahkan kepada OPD terkait.
Komisi B DPRD Provinsi Jawa Barat menganggap penerimaan dana cukai dari tembakau ini cukup dilematis. Di satu sisi menguntungkan dan potensial sehingga perlu untuk ditingkatkan namun di sisi lain juga akan berdampak terhadap peningkatan jumlah perokok di Jawa Barat yang pada akhirnya berpengaruh terhadap masalah sosial dan kesehatan masyarakat. Karena itu Komisi B meminta agar penerimaan dana cukai tembakau ini digunakan secara proporsional serta mempertimbangkan sektor kesehatan masyarakat.
Sebagaimana yang ditanyakan oleh Ade Ghozali, Daud mengatakan bahwa 5 langkah penggunaan dana cukai tembakau penggunaan dan proporsinya memang tidak diatur, pihaknya hanya menawarkan kepada OPD terkait kegiatan apa yang bisa dilakukan dengan menggunakan dana tersebut yang tentunya harus sesuai dengan roadmap. Untuk tahun 2011, penggunaan dana cukai ini terbesar oleh Dinas Kesehatan.
Pembagian untuk petani memang secara langsung tidak terlihat karena diserahkan kepada OPD terkait. Namun pada intinnya dana untuk petani diarahkan pada bagaimana menanam tembakau dengan kadar nikotin yang rendah agar laku di pasar dunia. Selanjutnya kalaupun ada sisa dana cukai dari tahun sebelumnya, maka dana sisa tersebut akan diakumulasikan di tahun berikutnya. Saat ini dana DBHCHT yang dimiliki Pemprov sebesar 56 milyar itu termasuk dana bagi hasil cukai tahun 2011.
Daud menyadari bahwa memang perlu dilakukan formulasi bagaimana mengaplikasikan dana bagi hasil tersebut. Diharapkan pada tahun 2011 penggunaan DBHCHT tersebut bisa dioptimalkan.
Sebagaimana penjelasan Dinas Perkebunan Jawa Barat, saat ini petani tembakau di Jawa Barat lebih banyak mengembangkan tembakau jenis lokal yang kadar nikotinnya tinggi sehingga bedasarkan regulasi internasional tidak bisa dijual di pasar dunia. Petani tembakai juga masih menganggap tembakau sebagai tanaman musiman yang tergantung pada cuaca sehingga harganya tidak stabil. Disadari bahwa saat ini kemitraan di kalangan petani tembakau memang belum berkembang.
OP Kurang Berpengaruh
Selain itu, Komisi B dalam rapat kerja dengan Disperindag, Dinas Perkebunan, Badan Ketahanan Pangan, Biro Administrasi Perekonomian, Bapeda, Biro Otonomi Daerah serta Biro Bina Produksi Provinsi Jawa Barat (11/1) juga memberikan perhatian terkait kenaikan harga produk pertanian termasuk cabai merah akhir-akhir ini. Rapat kerja sendiri dipimpin langsung Ketua Komisi B, H. Hasan Zainal Abidin EZ., SE., MM.
Pada kesempatan itu, Disperindag mengemukakan bahwa masalah kenaikan harga cabai di Jawa Barat tidak begitu mengkhawatirkan. Berdasarkan pemantauan harga terakhir di 5 pasar di Bandung yaitu pasar Kosambi, Kiaracondong, Andir, Sederhana dan Pasarbaru, harga cabai mengalami penurunan. Berdasarkan pemantauan harga yang dipantau oleh Disperindag per tanggal 11 Januari beberapa produk mengalami kenaikan antara lain beras sekitar Rp. 7500/kg mengalami kenaikan namun tidak signifikan, gula pasir dari Rp. 10.500 menjadi Rp. 11.000, minyak goreng dari Rp. 11.000 menjadi Rp. 11.500.
Sementara itu harga daging ayam turun dari Rp. 24.000 menjadi Rp. 23. 000 serta cabai merah berkisar antar Rp. 40.000-Rp. 55.000 setelah sebelumnya mengalami lonjakan harga mencapai Rp. 65.000 /kg, demikian pula dengan harga cabai rawit yang normalnya Rp. 20.000 sempat mengalami kenaikan mencapai Rp. 100.000 kini turun menjadi Rp. 80.000. Sementara itu harga daging sapi, telur dan bawang merah relatif stabil.
Komisi B juga mempertanyakan Operasi Pasar yang dilakukan pemerintah yang dinilai kurang berpengaruh terhadap harga sembako karena ternyata OP tidak atau kurang diminati konsumen. Hasan Zaenal menegaskan, DPRD Provinsi Jawa Barat memberikan perhatian terhadap kenaikan harga-harga bahan pokok di pasar akhir-akhir ini, karena itulah sebagaimana disposisi Ketua DPRD pihaknya memandang perlu untuk mendapatkan masukan serta informasi dari OPD terkait sebelum Komisi B turun ke lapangan untuk meninjau harga-harga di beberapa daerah di Jawa Barat. (Ihsan)